Fakta pertama:
Di tangan Ahok semua tradisi dirobek-robek.
Jika selama ini seorang gubernur menyembah para DPRD, gubernur Ahok membanting DPRD ke dasar jurang.
DPRD yang memang sudah menjadi sarang maling, berteriak lantang menyemprit Ahok.
Tetapi Ahok lebih galak!!
Ia meneriaki mereka lebih lantang, hingga semuanya menekuk ekor tak berkutik,
Bagai kucing ketakutan di pojok ruangan!!
Di era Ahok, DPRD bak barang pajangan, sibuk mengkritik dan hanya makan gaji buta, sementara hasil kerja mereka nol besar.
Fakta Kedua:
Jika seorang pejabat selama ini harus menjadi contoh bagi publik bagaimana berperilaku santun, berkata lembut, sopan, bertutur kata ajaib, bermanis-manis dengan para koruptor dan penjarah tanah negara, uang negara dan hak orang lain; Ahok malah sebaliknya.
Ia berkata kasar, menghantam, memaki para koruptor dan menghina mereka bagai manusia tak beradab.
Seolah Ahok tidak peduli dijuluki manusia kasar, sombong dan pongah.
Ia tetap menunjukkan karakternya sebagai seorang perobek tradisi.
Fakta Ketiga :
Ketika gubernur sebelumnya berdamai dengan preman, mafia, ormas sangar dan para pejabat rakus terkait dengan lahan negara, Ahok sebaliknya.
Ia merobek tradisi itu. Ia melawan para para ‘tikus-tikus’ itu dengan semangat heroik luar biasa.
Jika para preman ingin membunuhnya dengan anak panah di Kalijodo, Ahok malah lebih galak mengancam.
Ia menyerang preman dengan tank berteknologi laser.
Hasilnya, para preman itu lari tunggang langgang sambil terkencing-kencing ketakutan.
Fakta Keempat:
Menjelang Pilkada, biasanya seorang incumbent bermanis-manis kepada rakyat dan kepada para bawahannya, tetapi Ahok malah sebaliknya.
Ia semakin galak memaki, menggusur, mengomel dan memecat bawahannya.
Ahok tetap seperti aslinya, orisinal dan apa adanya!!
Ia tidak meniru para calon gubernur lainnya yang tiba-tiba pergi ke pasar pakai baju micky mouse, hadir di tengah kampung pelacuran, makan nasi akik dan makan di warteg.
Fakta Kelima:
Jika selama ini partai sok berkuasa, sombong, minta ini-itu dari calon kepala daerah, Ahok malah membuang mereka bagai sampah.
Partai tak berguna, menjadi beban negara, terlalu lamban bergerak, berlindung dibalik jargon demokrasi.
Jika partai mencoba mencekram Ahok, sebaliknya Ahok mencekik leher mereka tanpa ampun hingga berteriak histeris mengumbar deparpolisasi, delegitimasi partai.
Ahok dengan gagah berani maju sendirian lewat jalur maut penuh resiko tinggi, jalur independen.
Fakta Keenam:
Berhadapan dengan ketua partai sekelas Megawati, para calon kepala daerah mengumbar rayuan maut, datang menyembah dan bersujud kepada si Mbak yang sudah bergerak lamban dan terlihat bosan merengkuh kekuasaan.
Tetapi Ahok lain. Ia datang dengan kepala tegak, ia menatap dengan tajam mata Megawati lalu memberinya ancaman : Restui Djarot atau kita pisah dan saya berjuang sendiri. Anda punya waktu satu minggu. Lalu ia pergi diiringi lototan keraguan Megawati yang terbentur dengan mekanisme dan tata krama partainya.
Fakta Ketujuh:
Ketika datang dihadapan Mega, Ahok terlihat merobek tradisi : “jangan pernah manyakiti Mega, ia tidak pernah memaafkan anda”.
Tetapi Ahok tidak peduli kepada Megawati dengan dendam kesumatnya.
Ahok tidak belajar kepada mantan Presiden SBY yang menjadi korban dendam Megawati.
Sejak 2004 lalu saat keduanya berseteru, Megawati tidak pernah mau bicara langsung kepada SBY.
Ia masih dendam karena SBY melengserkan dirinya sebagai presiden. Padahal SBY adalah hanya menteri yang diangkatnya.
Sakitnya tuh di sini!!
Ahok juga tidak belajar ketika Jokowi yang sudah menjadi Presiden sekalipun, Mega harus tetap disembah.
Ketika Jokowi tidak melakukannya, Mega membanting Jokowi dengan menyebutnya hanya petugas partai.
Ia lalu menjegal Jokowi untuk tidak mengucapkan sebuah pidato di kongres PDIP beberapa waktu lalu.
Belakangan diketahui, itulah konsep sebuah pidato seorang Presiden RI yang tidak pernah diucapkan.
Sadisnya!!
Tetapi Ahok tidak takut, ia menantang Megawati. Gue adalah seorang pejuang, bukan seorang penjilat.