Latest News

Friday, February 19, 2016

Ini 10 Catatan Berbahaya Revisi UU KPK

Ilustrasi revisi UU KPK. [Google]

Ini 10 Catatan Berbahaya Revisi UU KPK
[JAKARTA] Seperti halnya naskah per Oktober 2015, Naskah Revisi UU KPK bulan Februari 2016 juga masih memiliki sejumlah catatan yang dapat melemahkan KPK.
Naskah Revisi UU KPK juga masih membahas hal-hal di  luar empat isu krusial yang ditawarkan oleh pemerintah.
ICW mencatat ada 10 (sepuluh) persoalan dalam naskah Revisi UU KPK per Februari 2016.
1. Pembentukan Dewan Pengawas KPK yang dipilih dan diangkat oleh Presiden 
Hal yang baru dalam Revisi UU KPK per Februari 2016 adalah keberadaan Dewan Pengawas KPK.
Pada Naskah sebelumnya “organ baru” yang ada adalah Dewan Kehormatan dan Dewan Eksekutif.  Ketentuan mengenai Dewan Pengawas diatur dalam 6 (enam) pasal, yakni Pasal 37A, Pasal 37B, Pasal 37C, Pasal 37D, Pasal 37E, dan Pasal 37F,
Berdasarkan Pasal 37B Ayat 1 huruf c, Dewan Pengawas bertugas: melakukan evaluasi kinerja pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. Selain itu berdasarkan naskah Revisi UU KPK 2016, Dewan Pengawas juga memiliki otoritas penting dalam proses pemberian izin penyadapan dan penyitaan yang dilakukan penyidik KPK.
Persoalan terbesar dalam ketentuan Dewan Pengawas adalah terkait mekanisme pengangkatan dan pemilihan anggota dewan pengawas. Dalam draft RUU KPK Pasal 37 D Ayat 1 disebutkan bahwa Dewan Pengawas dipilih dan diangkat oleh presiden. Namun tidak menjelaskan secara rinci mekanisme pemilihan anggota badan pengawas.
Dengan demikian dapat diartikan bahwa kewenangan memilih anggota dewan pengawas adalah murni menjadi hak prerogatif presiden. Presiden dapat menunjuk siapa saja untuk menjadi anggota dewan pengawas KPK.
Dengan metode yang demikian maka dewan pengawas bertanggungjawab langsung kepada Presiden sebagai pemberi hak. Jika dikaitkan dengan fungsi dan peran dewan pengawas maka akan menimbulkan persoalan lain yang lebih serius.
Dengan kedudukan dewan pengawas yang diangkat dan dipilih presiden maka menempatkan fungsi evaluasi kinerja Pimpinan KPK dalam keadaan yang tidak tepat.
Dengan kedudukan dewan pengawas yang demikian maka tindakan mengevaluasi kinerja pimpinan adalah bentuk campur tangan eksekutif terhadap KPK dan dapat dimaknai sebagai orang titipan Presiden di KPK.
Padahal pada KPK melekat sifat mandiri dan independen. Fungsi tersebut seolah merekonstruksi ulang posisi Dewan Pengawas yang berada setingkat diatas pimpinan KPK.
2. Mekanisme Penyadapan yang harus izin Dewan Pengawas
Ketentuan mekanisme penyadapan mengalami perubahan. Jika pada naskah Revisi UU KPK tahun 2015 sebelumnya harus dengan izin ketua pengadilan, namun dalam naskah revisi UU KPK tahun 2016 mekanisme penyadapan harus melalui izin Dewan Pengawas. 
Dalam Pasal 12A pada intinya disebutkan, penyadapan dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas.
Draf RUU KPK memberikan kewenangan bagi dewan pengawas untuk memberikan persetujuan atas upaya penyadapan yang akan dilakukan KPK. Jika dilihat dari kaca mata kedudukan dewan pengawas, kewenangan ini merupakan bentuk intervensi eksekutif dalam tindakan atau upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK.
Selain itu, draf RUU tidak mengatur mekanisme atau prosedural tentang pemberian persetujuan dewan pengawas., bagaimana jika yang akan disadap adalah anggota dewan pengawas atau jika izin penyadapan tidak diberikan.
3. Penyadapan hanya dapat dilakukan pada tahap Penyidikan
Pada sisi lain Ketentuan dalam Pasal 12 A yang menyebutkan proses penyadapan dilakukan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup juga dimaknai bahwa proses penyadapan hanya dapat dilakukan pada tahap penyidikan, bukan pada tahap penyelidikan sebagaimana yang dilakukan oleh KPK selama ini. Kondisi ini menjadikan langkah penindakan KPK menjadi terhambat dan menyulitkan KPK melakukan reaksi cepat atas informasi praktek penyuapan maupun melakukan operasi tangkap tangan (OTT).
Sebelumnya berdasarkan Pasal 12 UU KPK, pada intinya menyebutkan upaya penyadapan dan merekam pembcaraan dapat dilakukan dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dan tidak mensyaratkan pada adanya bukti permulaan yang cukup.  
4. Muncul dualisme Kepemimpinan di KPK
Secara tidak langsung naskah Revisi UU KPK menimbulkan dualisme kepemimpinan khususnya berkaitan dengan langkah penyadapan yang dilakukan oleh KPK. Pertanggungjawaban terhadap proses penyadapan yang dilakukan oleh penyidik tidak saja disampikan kepada pimpinan KPK namun juga Dewan Pengawas.
Pasal 12 D Ayat 2 menyebutkan Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a yang telah selesai dilaksanakan harus dipertanggungjawabkan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak Penyadapan selesai dilaksanakan.
5. KPK tidak dapat mengangkat penyelidik dan penyidik secara mandiri
Revisi UU KPK terbaru juga menyebabkan KPK kehilangan kemandiriannya dalam melakukan rekrutmen penyelidik dan penyidik.
Dalam Pasal 43 Ayat 1 disebutkan Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan penyelidik yang diperbantukan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia selama menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sedangkan Pasal 45 Ayat 1 disebutkan Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan penyidik yang diperbantukan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang.
Draft RUU KPK menghilangkan perdebatan apakah KPK memiliki kewenangan merekrut penyelidik dan penyidik secara mandiri. KPK hanya boleh merekrut tenaga penyelidik dari Kepolisian.
Sedangkan pada tingkat penyidik KPK dibatasi hanya boleh melakukan rekritmen dari Kepolisian, Kejaksaan dan Penyidik PNS. Sehingga tidak dimungkinkan bagi KPK untuk merekrut secara mandiri penyelidik dan penyidik diluar ketiga unsur tersebut.
6. Hanya Penyidik KPK asal Kepolisian dan Kejaksaan yang dapat melakukan proses penyidikan
Salah satu ketentuan dalam UU KPK yang dihapus oleh DPR adalah Pasal 38 Ayat 2 yang berbunyi “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini”.
Dalam Pasal Pasal 7 ayat 2 KUHAP pada intinya menyebutkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik.
Penghapusan Pasal Pasal 38 Ayat 2 memberikan konsekuensi hanya penyidik KPK yang berasal dari Kepolisian dan Kejaksaan yang dapat melakukan proses penyidikan.
Pegawai KPK yang bukan dari Kepolisian dan Kejaksaan tidak dapat melakukan proses penyidikan. Proses penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik non KPK dianggap tidak sah atau dapat dipersoalkan. 
7. Prosedur Pemeriksaan Tersangka harus mengacu pada KUHAP
Salah satu perubahan yang muncul dalam Revisi UU KPK adalah Prosedur Pemeriksaan Tersangka harus mengacu pada KUHAP. Artinya prosedur pemeriksaan KPK tidak dapat menyimpang dari KUHAP maupun membuat hukum acara tersendiri.
Hal ini jelas disebutkan dalam Pasal 46 Ayat 1 RUU KPK yang menyebutkan “Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka harus berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.”
Ketentuan diatas menghapuskan Pasal 46 Ayat 1 UU KPK yang menyebutkan Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini.
Pada Penjelasan Pasal 46 Ayat 1 UU KPK disebutkan yang dimaksud dengan “prosedur khusus” adalah kewajiban memperoleh izin bagi tersangka pejabat negara tertentu untuk dapat dilakukan pemeriksaan.
Selama ini KPK memiliki prosedur khusus pemeriksaan tersangka– misalnya saja tidak memerlukan izin untuk melakukan pemeriksaan terhadap pejabat tertentu seperti kepala daerah, menteri, maupun pejabat lain.
Dengan keharusan bahwa prosedur khusus pemeriksaan tersangka harus mengacu kepada KUHAP maka dapat akan menjadikan proses pemeriksaan menjadi berlarut-larut karena harus mendapatkan izin dari pejabat berwenang. 
8. KPK dapat menghentikan penyidikan dan Penuntutan perkara korupsi
Salah satu keistimewaan KPK saat ini adalah tidak adanya mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan juga penuntutan (Pasal 40 UU KPK).
Hal ini adalah salah satu parameter yang menjamin kualitas penanganan perkara di KPK yang harus dipastikan sangat matang ditingkat penyelidikan dan sudah dibuktikan pula melalui pembuktian bersalah di pengadilan yang mencapai angka sempurna (100 % conviction rate).
Namum kisah sukses KPK berupaya diubah oleh DPR dengan melakukan Revisi Pasal 40 yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara Tindak Pidana Korupsi.
Kewenangan menerbitkan SP3 justru akan membawa KPK ke level kewenangan yang tidak berbeda  dengan Kepolisian dan Kejaksaan, Hal ini sangat jauh dari semangat awal pembentukannya.
9. Proses Penyitaan harus dengan izin Dewan Pengawas
Salah satu upaya menghambat atau memperlambat proses penindakan KPK, dalam Naskah Revisi UU KPK khususnya Pasal 47  diatur ketentuan bahwa penyitaan baru dapat dilakukan oleh KPK setelah adanya bukti permulaan yang cukup dan dengan izin dari Dewan Pengawas. Padahal sebelumnya (dalam Pasal 47 UU KPK yang berlaku) penyitaan KPK dapat dilakukan tanpa izin Ketua  Pengadilan Negeri.
Keharusan adanya izin penyitaan dari Dewan Pengawas yang bersifat mutlak akan menjadi persoalan apabila Dewan Pengawas menolak memberikan izin penyitaan dengan alasan yang sangat subjektif. Dewan Pengawas dapat saja menolak memberikan izin penyitaan terhadap pelaku yang dikenal dekat dengan lingkungan eksekutif atau Presiden.
10. Tidak ada ketentuan Peralihan
Naskah Revisi UU KPK 2016 tidak mengatur ketentuan tentang masa peralihan . Pasal II Revisi UU KPK 2016 hanya menyebutkan bahwa Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Tiada ketentuan mengenai masa peralihan (seperti yang diatur Pasal 70 dan Pasal 71 UU KPK) akan memberikan konsekuensi apabila Revisi UU KPK ini disahkan maka sebelum Dewan Pengawas terbentuk maka KPK tidak dapat melakukan proses penyadapan dan penyitaan dalam perkara korupsi. [YUS/L-8]

http://sp.beritasatu.com/home/ini-10-catatan-berbahaya-revisi-uu-kpk/109084

No comments:

Post a Comment