Latest News

Monday, February 29, 2016

Kehadiran Jokowi Ke Danau Toba Membawa Angin Segar Bagi Kebangkitan Pariwisata di Sumut

Kehadiran Jokowi Ke Danau Toba Membawa Angin Segar Bagi Kebangkitan Pariwisata di Sumut


Horas ma dihita saluhutna. Horas juga untuk Bapak Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo beserta rmatera Utara (Sumut). Kedatangan Presiden RI yang ke 7 ini merupakan momentum paling bersejarah di taombongan, telah menyempatkan diri untuk datang atau blusukan ke Danau Toba, Pulau (Pulo) Samosir, Provinsi Sunah Bangso (orang) Batak.

Provinsi Sumut memiliki beberapa Wisata Alam yang indah. Salah satunya adalah Pulo Samosir yang dikeliling oleh Danau yang bernama Danau Toba. Danau Toba ini bukan hanya sekedar tempat Wisata Alam yang Indah di tanah air kita ini, tetapi juga melambangkan tentang Budaya Bangso Batak di Sumut. Artinya, ketika orang berbicara tentang Danau Toba, maka itu sama dengan berbicara tentang Kebatakan. Dimana Danau Toba (Tao Toba) merupakan kebanggaan bagi Orang Batak.

Kabar tentang keindahan Danau Toba memang sudah tidak bisa lagi dipungkiri. Sudah banyak cerita mengenai Danau Toba. Dari legenda terjadinya Danau Toba, sampai dengan wisatanya. Tapi sayang... perkembangan Wisata Danau Toba hanya begitu-begitu saja alias stagnan. Disamping itu, pemerintah-pemerintah sebelumnya hanya memandang sebelah mata mengenai hal ini. Bahkan, cenderung Danau Toba dijadikan sebagai sapi perah saja, seperti adanya penebangan pohon-pohon di sekitar Danau Toba dengan alasan membuka pabrik kertas, bertebarnya kerambah-kerambah yang menjadikan Danau Toba tercemar dan lain sebagainya. Anehnya, semua itu disetujui oleh pemerintah. Sangat ironis bukan. Kami berani mengakatan hal ini, karena fenomena ini bukan rahasia umum lagi. 


Wisatawan Dalam Negeri sedang Foto Bersama dan Menikmati Keindahan Alam Wisata di Danau Toba
Wisatawan Dalam Negeri sedang Foto Bersama dan Menikmati Keindahan Alam Wisata di Danau Toba (Foto: Batak Network)

Ketika kami mendengar kabar bahwa Danau Toba akan dibangun dan dijadikan sebagai Pusat Wisata Alam di Sumut oleh pemerintah saat ini (kabar yang terdengar akan dijadikan sebagai Monaco Asia). Kabar tsb merupakan kabar baik untuk kami. Tentunya, Danau Toba bukan lagi dipandang sebelah mata, tapi menjadi Tempat Wisata Alam yang banyak dikunjungi oleh wisatawan (baik dalam negeri dan luar negeri). 

Dengan Kehadiran Presiden Jokowi, tentunya pemerintah sangat serius untuk membangun Wisata Danau Toba di Sumut. Kami sangat berterimakasih sekali atas kehadiran bapak Presiden RI yang ke-7 ini beserta rombongan. Karena kami yakin bahwa "Kehadiran Jokowi ke Danau Toba Membawa Angin Segar Bagi Kebangkitan Pariwisata di Sumut". 

Horas Pak Jokowi beserta rombongan, Selamat Datang di Danau Toba yang indah

Seperti yang telah kami pesankan sebelumnya, apabila Pak Jokowi sudah sampai di Danau Toba, jangan lupa untuk menikmati wisata kuliner khas Danau Toba yaitu OMBUS-OMBUSOmbus-ombus ini enak sekali loh Pak Presiden, hehehe.... apalagi Ombus-Ombus ini dinikmati saat masih hangat... ueeee... enak tenan.... hehehe.

Saturday, February 27, 2016

Ahok: Kalau Ada yang Lebih Adil dan Jujur, Jangan Pilih Saya, Ini Ajaran Nabi

Ahok: Kalau Ada yang Lebih Adil dan Jujur, Jangan Pilih Saya, Ini Ajaran Nabi

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sempat menyinggung Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 saat membuka Konferensi Wilayah Gerakan Pemuda (GP) Ansor XVII di Balai Kota, Jumat (5/2/2016) sore ini.

"Saya juga mengatakan, bapak dan ibu tidak harus dukung saya (pada Pilkada DKI 2017)," kata Basuki. 

Ia meminta anggota GP Ansor untuk memilih tokoh lain jika tokoh tersebut lebih baik darinya. (Baca: Ahok: PKB Itu Singkatan "Partai Kereta Basuki")

"Kalau tahun depan terbukti ada (calon gubernur) yang lebih adil dan lebih jujur daripada saya, jangan pilih saya. Inilah ajaran nabi, bukan memanipulasi orang ikut dia membabi buta, tetapi dikasih pencerahan," ujar Basuki.

Dalam kesempatan itu, Basuki mengaku senang akan keberadaan organisasi masyarakat yang kerap membantu, seperti GP Ansor.

Menurut Basuki, personel GP Ansor kerap membantu Pemprov DKI Jakarta maupun aparat keamanan dalam mengamankan hari raya keagamaan. (Baca: Saat Pembawa Acara Konferensi GP Ansor Salah Sebut Nama Ahok Jadi Jokowi...)

"Saya bersyukur GP Ansor dan Nahdlatul Ulama ada. Di samping, sangat banyak (ormas) yang menyelewengkan ayat suci dan firman Tuhan," ucap dia.
Penulis: Kurnia Sari Aziza
Editor: Icha Rastika

http://megapolitan.kompas.com/read/2016/02/05/20463331/Ahok.Kalau.Ada.yang.Lebih.Adil.dan.Jujur.Jangan.Pilih.Saya.Ini.Ajaran.Nabi
#


Ahok Bangga Tak Ada Genangan di Jakarta Pusat

Ahok Bangga Tak Ada Genangan di Jakarta Pusat
Ahok Bangga Tak Ada Genangan di Jakarta Pusat
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama membanggakan kawasan Jakarta Pusat selalu dilaporkan minim genangan saat puncak musim penghujan yang tengah terjadi sekarang.
Kawasan Jakarta Pusat, termasuk Ring I Istana, sempat tergenang parah pada musim penghujan tahun sebelumnya.
Tahun ini, tali-tali air di Jakarta Pusat telah diperbaiki. Petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) selalu bersiaga memastikan saluran air terbebas dari sampah kapan pun hujan mengguyur.
"Kita lihat Jakarta Pusat tahun ini hampir tidak ada genangan," ujar Ahok, sapaan akrab Basuki, saat meresmikan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Amir Hamzah di kawasan Pegangsaan, Jakarta Pusat, Jum'at, 26 Februari 2016.
Ahok mengatakan, kawasan yang masih sering dilaporkan tergenang adalah kawasan Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Hal itu dikarenakan tak kunjung terlaksananya pembangunan tanggul laut raksasa di pesisir Teluk Jakarta. Rob memasuki daratan saat curah hujan tinggi. Selain itu, aliran sungai di Jakarta Barat yang belum semuanya ternormalisasi juga membuat aliran air meninggi saat rob membanjiri daratan.
Ahok mengatakan Pemerintah Provinsi DKI menyelesaikan hal itu secara bertahap. Pemerintah telah menganggarkan di APBD DKI tahun 2016 untuk membangun tanggul yang membentengi daratan dari permukaan laut yang meluap.
"Tapi masyarakat juga harus ingat untuk tidak buang sampah sembarangan. Setelah tanggul laut terbangun, air pasang nanti tidak akan meluap lagi," ujar Ahok.

http://metro.news.viva.co.id/news/read/740712-ahok-bangga-tak-ada-genangan-di-jakarta-pusat

Diaz Hendropriyono: Ahok Penuhi Syarat Pemimpin dalam Islam


Diaz Hendropriyono: Ahok Penuhi Syarat Pemimpin dalam Islam
Ahok memiliki sifat amanah, fatanah, sidiq dan tabligh

Ketua Kawan Jokowi, Diaz Hendropriyono, menilai Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memiliki sejumlah kriteria seseorang pemimpin dalam Islam.

"Dalam Islam ada amanah, fatanah, sidiq dan tabligh," kata Diaz dalam diskusi Suara Muda Mudi Ahok di Bonobo Bar and Grill, Jakarta, Sabtu 27 Februari 2016.

Menurutnya, Ahok memiliki sifat fatanah atau kecerdasan. Banyak ide gila yang Ahok lakukan sebagai gubernur DKI Jakarta.

Misalnya wacana Ahok untuk menggaji pemulung Rp2 juta per bulan, daripada membayar dinas kebersihan sekian miliar.

"Idenya juga banyak menggabungkan inovasi birokrasi dan teknologi. Misalnya aplikasi jalanan rusak. Kita unggah, Ahok langsung tahu. Rapat-rapat juga diunggah. Jadi ada penggabungan inovasi teknologi," kata Diaz.

Ia juga menilai Ahok amanah. Menurutnya Ahok pernah memperjuangkan upah minimum pekerja Jakarta. Lalu Ahok juga memperjuangkan menaikkan gaji pemerintah DKI setingkat kecamatan dan kelurahan

"Lalu kriteria Sidiq. Ahok mendapat Bung Hatta Anti Corruption Award," kata Diaz.


http://metro.news.viva.co.id/news/read/741203-diaz-hendropriyono-ahok-penuhi-syarat-pemimpin-dalam-islam?utm_source=dlvr.it&utm_medium=facebook

HARI INI, SIAPA SANGKA?

HARI INI, SIAPA SANGKA?
Siapa sangka dua orang sederhana ini hari ini tiba-tiba muncul menjadi kekuatan besar dan riil perubahan Indonesia?
Siapa sangka kedua orang ini hari ini membuat ratusan juta orang dari berbagai kalangan di negeri ini terinspirasi dan bangkit penuh harapan, optimisme, kecerdasan dan kebanggaan menjadi rakyat Indonesia?
Di mana-mana, pelayanan publik instansi pemerintah dan rumah sakit menjadi lebih baik. Di mana-mana anda menemukan banyak rakyat kecil berkisah setiap hari mereka merasa lebih bersemangat dan bangga memiliki negara ini. Di mancanegara, banyak perantau tiba-tiba merasa rindu pada negeri ini. Seorang pengusaha Hong Kong yang mengungsi dari Indonesia sekitar 50 tahun lalu akibat isu komunisme, pun optimistis dan ikut senang dengan perkembangan di negeri ini. Sayangnya, ia sudah terlalu tua untuk terbang bolak-balik untuk berinvestasi di sini. Di Singapura dan Malaysia, kita berbicara lebih percaya diri sebagai orang Indonesia. Saya pun sudah hampir tidak pernah lagi mendengar teman-teman Singapura berbicara pesimistis tentang perbaikan penegakan hukum Indonesia.
Ada respek lebih besar di luar sana untuk kita. Bangsa besar di titik temu dunia, yang secara cerdas dan bijak telah merumuskan dan menempa nilai-nilai universal dalam Dasar Negara Pancasila, terasa semakin ramah, aman, nyaman, manusiawi dan peduli lingkungan. Kita bukan lagi negara yang hampir membiarkan dirinya melemah, sakit dan membusuk diobok-obok kuman-kuman fanatisme, terorisme, korupsi dan borjuisme para elit politik.
Siapa sangka? Bahkan, para pemimpin dan masyarakat dunia pun tak percaya, tiba-tiba hari ini, Indonesia memiliki seorang Joko Widodo yang hampir ndeso dan jelata, dan seorang Ahok yang Cina "kafir" dan non-muslim. Siapa sangka Bunda Semesta mendengar tangisan dan deraan derita 250 juta anaknya di negeri ini?
Hari ini, siapa sangka? Aku pun tak menyangka!

Source : FB Masayu Anastasya Putri 

Monday, February 22, 2016

Layanan Pemerintah Buruk? Kirim SMS ke Presiden di Nomor 08122600960

 

Layanan Pemerintah Buruk? Kirim SMS ke Presiden di Nomor 08122600960

 

Presiden Joko Widodomeminta masyarakat mengirimkan pesan layanan pendek atau SMS ke nomor ponsel Presiden, 0812-2600-960, jika ada pelayanan pemerintah di bidang kesehatan dan pendidikan serta layanan lainnya yang dinilai masih bermasalah.

Hal itu diungkapkan Presiden Jokowi di halaman masjid di Kelurahan Tua Tunu, Kecamatan Gerunggang, Kota Pangkal Pinang, Bangka Belitung, Minggu (21/6/2015), saat penyerahan Kartu Asistensi Penderita Disabilitas, Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Keluarga Sejahtera kepada perwakilan masyarakat penerima bantuan sosial.

"Jika ada pelayanan yang kurang baik, tolong dilaporkan ke gubernur, menteri, dan baru ke saya jika memang tidak ada tanggapan. Bagaimana caranya? Ada yang tahu? SMS saya saja, ini nomornya, 0812-2600-960," kata Presiden Jokowi.

Setelah memberikan nomor pribadinya, pagi harinya, saat sahur bersama keluarganya di hotel bintang lima, tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-54, Presiden Jokowi juga membuka diri dengan menyampaikan pesan perdana lewat Twitter @jokowi yang selama ini tidak aktif.

"Saya memang sudah cukup lama tidak aktif di Twitter. Pada bulan suci Ramadhan ini, saya terinspirasi untuk mulai aktif kembali. Selain untuk menyampaikan berbagai kegiatan dan pemikiran untuk bangsa, saya juga ingin mendapat masukan langsung dari masyarakat mengenai berbagai persoalan di lapangan yang mungkin luput dari perhatian pemerintah," kata Presiden, sebagaimana diungkapkan anggota Tim Komunikasi Presiden, Teten Masduki.
Penulis: Suhartono
Editor: Erlangga Djumena      http://nasional.kompas.com/read/2015/06/21/11172151/Layanan.Pemerintah.Buruk.SMS.Presiden.ke.Nomor.08122600960

KPK Minta Semua Daerah Terapkan Pelayanan Terpadu Satu Pintu

 

KPK Minta Semua Daerah Terapkan Pelayanan Terpadu Satu Pintu

Komisi Pemberantasan Korupsi menanggapi hasil survei Badan Pusat Statistik yang menyatakan bahwa perilaku antikorupsi masyarakat Indonesia menurun. Menyikapi hal ini, Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan KPK punya program pendampingan 269 kepala daerah yang baru terpilih.

"KPK secara khusus mendorong tiga poin kepada mereka (kepala daerah)," kata Pahala di kantor pusat BPS, Jakarta, Senin, 22 Februari 2016. 

Pertama, lewat Kementerian Dalam Negeri, KPK mendorong kepala daerah mengimplementasikan model-model e-budgeting. Kedua, mendorong mereka untuk mengimplementasikan e-procurement dan unit pelayanan pengadaan terpadu. Ketiga, KPK mendorong pemerintah daerah mengimplementasikan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP). 

"Regulasinya sudah ada. Masalahnya, tidak semua pemda melaksanakan secara riil," ujar Pahala.

Menurut dia, dalam sistem pelayanan terpadu satu pintu, birokrasi harus menjelaskan prosedur, waktu, dan biaya pengurusan kepada publik. "Sehingga kami harapkan indeks pengalaman antikorupsi akan secara perlahan meningkat kalau 269 kepala daerah ini menerapkan PTSP," tuturnya.

Ia berharap semua pemerintah daerah bisa menerapkan PTSP. Termasuk dalam pelayanan pada bidang sumber daya alam. "Jadi izin tambang dan izin perkebunan dibuka secara transparan," ucapnya.

Badan Pusat Statistik memaparkan hasil survei perilaku antikorupsi masyarakat Indonesia tahun 2015. Hasilnya, dari skala 0 sampai 5, indeks perilaku antikorupsi masyarakat sebesar 3,59. "Ada penurunan 0,02 poin dibandingkan survei tahun 2014, yaitu 3,61," kata Kepala BPS Suryamin.

Ia menjelaskan, nilai indeks yang semakin mendekati 0 menunjukkan masyarakat permisif terhadap korupsi. Sedangkan nilai yang makin mendekati 5 menunjukkan masyarakat semakin antikorupsi.

Menurut Suryamin, penurunan ini disebabkan pengalaman responden terkait dengan sikap antikorupsi yang menurun. "Penurunan per tahun lebih disebabkan pengalaman yang masih terjadi di lapangan," tuturnya.


REZKI ALVIONITASARI

 https://nasional.tempo.co/read/news/2016/02/22/078747083/kpk-minta-semua-daerah-terapkan-pelayanan-terpadu-satu-pintu

Saturday, February 20, 2016

Tokoh OPM Idamkan Kepala Daerah di Papua seperti Ahok dan Jokowi

Tokoh OPM Idamkan Kepala Daerah di Papua seperti Ahok dan Jokowi


Filep Karma, salah seorang tokoh Organisasi Papua Merdeka, mengidamkan seorang pemimpin di Papua yang memiliki karakter seperti Presiden Joko Widodo dan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau biasa disebutAhok.
Hal ini disampaikan Filep saat ditemui di sela-sela acara pelantikan bupati dan wakil bupati untuk enam kabupaten di Aula Sasana Krida, Kota Jayapura, Papua, Rabu (17/2/2016).
Pria yang baru dibebaskan dari penjara beberapa bulan lalu itu menuturkan, banyak kepala daerah di Papua yang sering menghabiskan waktunya dengan pelesiran ke Jakarta dan sejumlah kota besar lain.
"Seharusnya mereka meneladani karakter Jokowi yang selalu berada di tengah warga. Sayangnya, mereka hanya menghabiskan waktunya di Jakarta dan meninggalkan rakyatnya didera masalah kemiskinan," kata Filep.
Filep mengatakan, banyak kepala daerah di Papua yang lebih menuruti perintah partai politik pendukung. Padahal, rakyat yang memilih mereka.
"Seharusnya, mereka mencontoh sikap tegas Ahok yang rela meninggalkan parpol dan lebih mementingkan pelayanan bagi warga Jakarta," kata dia.
Berdasarkan data yang dihimpun Kompas.com, para bupati dan wakil bupati yang dilantik adalah Isais Dou-Amirulah Hasyim dari Nabire, Elisa Kambu-Thomas Eppe Safampo dari Asmat, Celcius Watae-Muhamad Markum dari Keerom, Yeremias Bisay-Hendrik Wonatorey dari Waropen, Frederikus Gebze-Sularso dari Merauke, dan Kostan Oktenka-Decky Deal dari Pegunungan Bintang.

http://regional.kompas.com/read/2016/02/17/17585971/Tokoh.OPM.Idamkan.Kepala.Daerah.di.Papua.seperti.Ahok.dan.Jokowi

Friday, February 19, 2016

Kemenkes: Puskesmas di Jakarta Lebih Maju di Tangan Ahok

Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. (Liputan6.com/Ahmad Romadoni)

Kemenkes: Puskesmas di Jakarta Lebih Maju di Tangan Ahok


Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama Kementerian Kesehatan dan Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia (YKAKI) memperingati Hari Kanker Anak Nasional yang jatuh pada Senin 15 Februari kemarin.
Dalam kesempatan itu, Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Sri Henni Setiawati mewakili Menteri Kesehatan, memuji kinerja Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, khususnya dalam melakukan modernisasi Puskesmas.
Dia menilai, di tangan Ahok, Puskesmas di DKI menjadi lebih baik, di mana salah satunya mampu melakukan deteksi secara dini terhadap kanker, terutama pada anak.
"Puskesmas DKI Jakarta di bawah pimpinan Ahok sudah sangat maju. Karena bisa mendeteksi secara dini terkait gejala kanker pada anak," ujar Sri di Balai Kota Jakarta, Senin (15/2/2016) malam.
Sementara itu, di tempat yang sama, Ketua YKAKI Ira Soelistyo mengatakan penanganan kanker pada anak sangat berbeda dengan kanker yang menyerang orang dewasa.
"Bagaimana gejala, bagaimana menanganinya, hal ini yang berbeda," ungkap Ira.
Dia pun mengungkapkan di YKAKI Jakarta total ada 600 anak yang terdekteksi terkena kanker dan 100 anak di daerah atau luar YKAKI DKI.
"Tapi 30 persen tidak tertolong karena terlambat terdekteksi. Karena itu penting mengetahui gejala kanker anak sejak sekarang," tutup Ira.
http://m.liputan6.com/news/read/2437123/kemenkes-puskesmas-di-jakarta-lebih-maju-di-tangan-ahok


Lebih Mendesak Merevisi UU Polri Dan Kejaksaan Ketimbang KPK

Koordinator Lingkar Madani Indonesia (Lima) Indonesia Ray Rangkuti
Lebih Mendesak Merevisi UU Polri Dan Kejaksaan Ketimbang KPK


Pengamat politik Ray Rangkuti menilai, lebih mendesak bagi pemerintah bersama DPR merevisi UU Polri dan Kejaksaan ketimbang KPK. Sebab, Polri dan Kejaksaan sejauh ini belum efektif dalam memberantas korupsi.
"Yang kita butuhkan sekarang bukan revisi UU KPK. Lebih baik kita mengutamakan revisi UU polisi dan Kejaksaan," kata Ray dalam acara diskusi yang digelar Transparency International Indonesia di Jakarta, Jumat (19/2) malam.
Ray berpendapat tugas pokok dan fungsi Polri sekarang ini perlu dioptimalkan. Pasalnya Polri dianggap masih mengalami persoalan kepercayaan masyarakat yang terlihat jelas dari berbagai pendapat di media sosial, padahal Kepolisian merupakan institusi penegakan hukum yang paling dekat dengan masyarakat.
"Bayangkan 450 ribu jumlah anggota polisi mengawasi 250 juta penduduk Indonesia. Perlu segera menjadikani Polri institusi yang handal dalam penegakan hukum dan ketertiban. Profesional dan beradab," ujarnya.
Situasi yang sama juga dialami Kejaksaan, masih mengalami krisis kepercayaan masyarakat. Maka, dirinya menganggap tidak ada urgensi merevisi UU KPK yang selalu berada dalam posisi pertama atau kedua sebagai lembaga negara yang dipercaya masyarakat.
"Bila nantinya revusi (UU KPK) ini dilakukan matilah pemberantasan korupsi di Indonesia," katanya.
Direktur Program TII Ilham Saenong meyakini upaya merevisi UU KPK tak lepas dari kinerja badan antikorupsi itu yang sejak berdiri tahun 2003 hingga kini telah menangkap puluhan politisi, kepala daerah, termasuk aparat penegak hukum.
Menurutnya, upaya merevisi UU KPK yang terus dilakukan sejak era pemerintahan Presiden SBY merupakan manifestasi dari kegelisahan banyak pihak terhadap eksistensi KPK.
"Padahal indeks persepsi korupsi (IPK) kita sekarang ini sudah naik dari 34 tahun 2014 menjadi 36 poin di 2015. Peringkat kita juga naik dari 107 menjadi 88 meskipun skornya masih dibawah lima yang artinya angka merah," kata Ilham. [E-11/L-8]
http://sp.beritasatu.com/home/lebih-mendesak-merevisi-uu-polri-dan-kejaksaan-ketimbang-kpk/109130

Ini 10 Catatan Berbahaya Revisi UU KPK

Ilustrasi revisi UU KPK. [Google]

Ini 10 Catatan Berbahaya Revisi UU KPK
[JAKARTA] Seperti halnya naskah per Oktober 2015, Naskah Revisi UU KPK bulan Februari 2016 juga masih memiliki sejumlah catatan yang dapat melemahkan KPK.
Naskah Revisi UU KPK juga masih membahas hal-hal di  luar empat isu krusial yang ditawarkan oleh pemerintah.
ICW mencatat ada 10 (sepuluh) persoalan dalam naskah Revisi UU KPK per Februari 2016.
1. Pembentukan Dewan Pengawas KPK yang dipilih dan diangkat oleh Presiden 
Hal yang baru dalam Revisi UU KPK per Februari 2016 adalah keberadaan Dewan Pengawas KPK.
Pada Naskah sebelumnya “organ baru” yang ada adalah Dewan Kehormatan dan Dewan Eksekutif.  Ketentuan mengenai Dewan Pengawas diatur dalam 6 (enam) pasal, yakni Pasal 37A, Pasal 37B, Pasal 37C, Pasal 37D, Pasal 37E, dan Pasal 37F,
Berdasarkan Pasal 37B Ayat 1 huruf c, Dewan Pengawas bertugas: melakukan evaluasi kinerja pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. Selain itu berdasarkan naskah Revisi UU KPK 2016, Dewan Pengawas juga memiliki otoritas penting dalam proses pemberian izin penyadapan dan penyitaan yang dilakukan penyidik KPK.
Persoalan terbesar dalam ketentuan Dewan Pengawas adalah terkait mekanisme pengangkatan dan pemilihan anggota dewan pengawas. Dalam draft RUU KPK Pasal 37 D Ayat 1 disebutkan bahwa Dewan Pengawas dipilih dan diangkat oleh presiden. Namun tidak menjelaskan secara rinci mekanisme pemilihan anggota badan pengawas.
Dengan demikian dapat diartikan bahwa kewenangan memilih anggota dewan pengawas adalah murni menjadi hak prerogatif presiden. Presiden dapat menunjuk siapa saja untuk menjadi anggota dewan pengawas KPK.
Dengan metode yang demikian maka dewan pengawas bertanggungjawab langsung kepada Presiden sebagai pemberi hak. Jika dikaitkan dengan fungsi dan peran dewan pengawas maka akan menimbulkan persoalan lain yang lebih serius.
Dengan kedudukan dewan pengawas yang diangkat dan dipilih presiden maka menempatkan fungsi evaluasi kinerja Pimpinan KPK dalam keadaan yang tidak tepat.
Dengan kedudukan dewan pengawas yang demikian maka tindakan mengevaluasi kinerja pimpinan adalah bentuk campur tangan eksekutif terhadap KPK dan dapat dimaknai sebagai orang titipan Presiden di KPK.
Padahal pada KPK melekat sifat mandiri dan independen. Fungsi tersebut seolah merekonstruksi ulang posisi Dewan Pengawas yang berada setingkat diatas pimpinan KPK.
2. Mekanisme Penyadapan yang harus izin Dewan Pengawas
Ketentuan mekanisme penyadapan mengalami perubahan. Jika pada naskah Revisi UU KPK tahun 2015 sebelumnya harus dengan izin ketua pengadilan, namun dalam naskah revisi UU KPK tahun 2016 mekanisme penyadapan harus melalui izin Dewan Pengawas. 
Dalam Pasal 12A pada intinya disebutkan, penyadapan dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas.
Draf RUU KPK memberikan kewenangan bagi dewan pengawas untuk memberikan persetujuan atas upaya penyadapan yang akan dilakukan KPK. Jika dilihat dari kaca mata kedudukan dewan pengawas, kewenangan ini merupakan bentuk intervensi eksekutif dalam tindakan atau upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK.
Selain itu, draf RUU tidak mengatur mekanisme atau prosedural tentang pemberian persetujuan dewan pengawas., bagaimana jika yang akan disadap adalah anggota dewan pengawas atau jika izin penyadapan tidak diberikan.
3. Penyadapan hanya dapat dilakukan pada tahap Penyidikan
Pada sisi lain Ketentuan dalam Pasal 12 A yang menyebutkan proses penyadapan dilakukan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup juga dimaknai bahwa proses penyadapan hanya dapat dilakukan pada tahap penyidikan, bukan pada tahap penyelidikan sebagaimana yang dilakukan oleh KPK selama ini. Kondisi ini menjadikan langkah penindakan KPK menjadi terhambat dan menyulitkan KPK melakukan reaksi cepat atas informasi praktek penyuapan maupun melakukan operasi tangkap tangan (OTT).
Sebelumnya berdasarkan Pasal 12 UU KPK, pada intinya menyebutkan upaya penyadapan dan merekam pembcaraan dapat dilakukan dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dan tidak mensyaratkan pada adanya bukti permulaan yang cukup.  
4. Muncul dualisme Kepemimpinan di KPK
Secara tidak langsung naskah Revisi UU KPK menimbulkan dualisme kepemimpinan khususnya berkaitan dengan langkah penyadapan yang dilakukan oleh KPK. Pertanggungjawaban terhadap proses penyadapan yang dilakukan oleh penyidik tidak saja disampikan kepada pimpinan KPK namun juga Dewan Pengawas.
Pasal 12 D Ayat 2 menyebutkan Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a yang telah selesai dilaksanakan harus dipertanggungjawabkan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak Penyadapan selesai dilaksanakan.
5. KPK tidak dapat mengangkat penyelidik dan penyidik secara mandiri
Revisi UU KPK terbaru juga menyebabkan KPK kehilangan kemandiriannya dalam melakukan rekrutmen penyelidik dan penyidik.
Dalam Pasal 43 Ayat 1 disebutkan Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan penyelidik yang diperbantukan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia selama menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sedangkan Pasal 45 Ayat 1 disebutkan Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan penyidik yang diperbantukan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang.
Draft RUU KPK menghilangkan perdebatan apakah KPK memiliki kewenangan merekrut penyelidik dan penyidik secara mandiri. KPK hanya boleh merekrut tenaga penyelidik dari Kepolisian.
Sedangkan pada tingkat penyidik KPK dibatasi hanya boleh melakukan rekritmen dari Kepolisian, Kejaksaan dan Penyidik PNS. Sehingga tidak dimungkinkan bagi KPK untuk merekrut secara mandiri penyelidik dan penyidik diluar ketiga unsur tersebut.
6. Hanya Penyidik KPK asal Kepolisian dan Kejaksaan yang dapat melakukan proses penyidikan
Salah satu ketentuan dalam UU KPK yang dihapus oleh DPR adalah Pasal 38 Ayat 2 yang berbunyi “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini”.
Dalam Pasal Pasal 7 ayat 2 KUHAP pada intinya menyebutkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik.
Penghapusan Pasal Pasal 38 Ayat 2 memberikan konsekuensi hanya penyidik KPK yang berasal dari Kepolisian dan Kejaksaan yang dapat melakukan proses penyidikan.
Pegawai KPK yang bukan dari Kepolisian dan Kejaksaan tidak dapat melakukan proses penyidikan. Proses penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik non KPK dianggap tidak sah atau dapat dipersoalkan. 
7. Prosedur Pemeriksaan Tersangka harus mengacu pada KUHAP
Salah satu perubahan yang muncul dalam Revisi UU KPK adalah Prosedur Pemeriksaan Tersangka harus mengacu pada KUHAP. Artinya prosedur pemeriksaan KPK tidak dapat menyimpang dari KUHAP maupun membuat hukum acara tersendiri.
Hal ini jelas disebutkan dalam Pasal 46 Ayat 1 RUU KPK yang menyebutkan “Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka harus berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.”
Ketentuan diatas menghapuskan Pasal 46 Ayat 1 UU KPK yang menyebutkan Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini.
Pada Penjelasan Pasal 46 Ayat 1 UU KPK disebutkan yang dimaksud dengan “prosedur khusus” adalah kewajiban memperoleh izin bagi tersangka pejabat negara tertentu untuk dapat dilakukan pemeriksaan.
Selama ini KPK memiliki prosedur khusus pemeriksaan tersangka– misalnya saja tidak memerlukan izin untuk melakukan pemeriksaan terhadap pejabat tertentu seperti kepala daerah, menteri, maupun pejabat lain.
Dengan keharusan bahwa prosedur khusus pemeriksaan tersangka harus mengacu kepada KUHAP maka dapat akan menjadikan proses pemeriksaan menjadi berlarut-larut karena harus mendapatkan izin dari pejabat berwenang. 
8. KPK dapat menghentikan penyidikan dan Penuntutan perkara korupsi
Salah satu keistimewaan KPK saat ini adalah tidak adanya mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan juga penuntutan (Pasal 40 UU KPK).
Hal ini adalah salah satu parameter yang menjamin kualitas penanganan perkara di KPK yang harus dipastikan sangat matang ditingkat penyelidikan dan sudah dibuktikan pula melalui pembuktian bersalah di pengadilan yang mencapai angka sempurna (100 % conviction rate).
Namum kisah sukses KPK berupaya diubah oleh DPR dengan melakukan Revisi Pasal 40 yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara Tindak Pidana Korupsi.
Kewenangan menerbitkan SP3 justru akan membawa KPK ke level kewenangan yang tidak berbeda  dengan Kepolisian dan Kejaksaan, Hal ini sangat jauh dari semangat awal pembentukannya.
9. Proses Penyitaan harus dengan izin Dewan Pengawas
Salah satu upaya menghambat atau memperlambat proses penindakan KPK, dalam Naskah Revisi UU KPK khususnya Pasal 47  diatur ketentuan bahwa penyitaan baru dapat dilakukan oleh KPK setelah adanya bukti permulaan yang cukup dan dengan izin dari Dewan Pengawas. Padahal sebelumnya (dalam Pasal 47 UU KPK yang berlaku) penyitaan KPK dapat dilakukan tanpa izin Ketua  Pengadilan Negeri.
Keharusan adanya izin penyitaan dari Dewan Pengawas yang bersifat mutlak akan menjadi persoalan apabila Dewan Pengawas menolak memberikan izin penyitaan dengan alasan yang sangat subjektif. Dewan Pengawas dapat saja menolak memberikan izin penyitaan terhadap pelaku yang dikenal dekat dengan lingkungan eksekutif atau Presiden.
10. Tidak ada ketentuan Peralihan
Naskah Revisi UU KPK 2016 tidak mengatur ketentuan tentang masa peralihan . Pasal II Revisi UU KPK 2016 hanya menyebutkan bahwa Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Tiada ketentuan mengenai masa peralihan (seperti yang diatur Pasal 70 dan Pasal 71 UU KPK) akan memberikan konsekuensi apabila Revisi UU KPK ini disahkan maka sebelum Dewan Pengawas terbentuk maka KPK tidak dapat melakukan proses penyadapan dan penyitaan dalam perkara korupsi. [YUS/L-8]

http://sp.beritasatu.com/home/ini-10-catatan-berbahaya-revisi-uu-kpk/109084

Berikan Pensil, Para Guru Besar Tolak Revisi UU KPK

Perwakilan Profesor Bambang Widodo Umar (kiri) memberikan secara simbolis pensil raksasa kepada Ketua KPK Agus Rahardjo (kanan) seusai melakukan diskusi tertutup di gedung KPK, Jakarta, Jumat (19/2). Pensil raksasa tersebut merupakan simbol sumbangan pemikiran dari kalangan akademisi dalam rangka penolakan terhadap revisi UU KPK. [ANTARA]

[JAKARTA] Sejumlah Guru Besar lintas keilmuan dan perguruan tinggi mendatangi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Jumat (19/2).
Para akademisi menyerahkan sebuah 'pensil besar' kepada Pimpinan KPK yang diwakili Agus Rahardjo dan Basaria Panjaitan sebagai simbol menolak revisi UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.
Guru Besar Sosiologi Hukum UI, Bambang Widodo Umar menyatakan, pemberian pensil besar kepada Pimpinan KPK merupakan bentuk dukungan dari elemen kampus untuk turut mempertahankan eksistensi KPK agar lebih kuat lagi.
Pengamat Kepolisian ini mengaku tak menolak adanya perubahan terhadap UU KPK. Namun, perubahan itu harus dilakukan berdasar kajian keilmuan, bukan semata asumsi dan kepentingan pihak tertentu.
"Jangan mengubah itu dari hasil asumsi atau kepentingan, tapi harus diteliti lebih dulu. Makanya kita juga menggunakan simbol (pensil) ini," kata Bambang di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (19/2).
Bambang menyatakan, pihaknya tak ingin ada kelompok atau golongan tertentu yang memiliki maksud melemahkan KPK melalui revisi UU KPK. Melalui kajian dan penelitian, penguatan terhadap KPK akan lebih objektif.
"Apakah kelemahan-kelemahan dari undang-undang atau kelemahan sarana dan prasarana, atau mungkin dari orang-orangnya, bukan undang-undang. Jadi ini akan lebih obyektif," papar Bambang.
Bambang menyatakan, untuk saat ini revisi UU KPK belum diperlukan. Eksistensi KPK dengan kewenangan-kewenangan yang dimiliki masih dibutuhkan untuk memberantas korupsi di Indonesia.
"Kita masih butuh KPK untuk bagaimana membuat republik ini lebih adil, makmur, dan sejahtera," tegasnya.
Hal senada dikatakan, Faisal Santiago, Guru Besar Hukum Universitas Borobudur. Dikatakan, para akademisi yang datang ke KPK sepakat saat ini bukan waktu yang tepat merevisi UU KPK.
Faisal menyatakan, dengan kewenangan-kewenangan yang dimilikinya, KPK masih menjadi tumpuan rakyat Indonesia dalam memberantas korupsi. Namun, jika kewenangan-kewenangan itu dikurangi, KPK tak ubahnya seperti lembaga penegak hukum lainnya.
"Kalau kewenangan yang dimiliki KPK ini dikurangi bukan lagi KPK, tapi lembaga biasa saja karena marwahnya itu di kelebihannya itu. Mempunyai kewenangan yang lebih dari lembaga penegak hukum lain," ungkapnya.
Agus yang menerima 'pensil besar' dari para guru besar ini menyatakan, pihaknya bersama para akademisi dari sejumlah perguruan tinggi ternama menolak dilakukannya revisi UU KPK.
Selain mengirim surat kepada DPR, Pimpinan KPK berencana bertemu Presiden Joko Widodo dalam waktu dekat ini untuk menyampaikan sikap penolakan mereka terhadap revisi UU KPK.
"Dengan dukungan dari teman-teman perguruan tinggi, kalau tidak salah beberapa hari yang akan datang, akan ada teman-teman dari dunia seni, Slank akan datang, memberikan sinyal kepada saudara-saudara kita yang di DPR dan Presiden bahwa rakyat menghendaki tidak dilakukan revisi UU KPK," tegasnya.
Diketahui, empat poin dalam draf revisi, yakni pembentukan dewan pengawas, penyadapan harus seizin dewan pengawas, tidak berwenang mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri serta pemberian kewenangan menerbitkan SP3 diyakini sejumlah elemen masyarakat akan melemahkan kelembagaan KPK.
Meski diwarnai gelombang penolakan, DPR terus menggulirkan rencana merevisi UU KPK. Sejauh ini, tujuh fraksi yakni PDIP, Hanura, Nasdem, PKB, Golkar, PAN, dan PPP terus mendorong dilakukannya perubahan terhadap UU KPK. Sementara tiga fraksi lainnya, Gerindra, Demokrat dan PKS menolak revisi UU KPK. [F-5/L-8]
http://sp.beritasatu.com/home/berikan-pensil-para-guru-besar-tolak-revisi-uu-kpk/109089
Ini 10 Catatan Berbahaya Revisi UU KPK
[JAKARTA] Seperti halnya naskah per Oktober 2015, Naskah Revisi UU KPK bulan Februari 2016 juga masih memiliki sejumlah catatan yang dapat melemahkan KPK.
Naskah Revisi UU KPK juga masih membahas hal-hal di  luar empat isu krusial yang ditawarkan oleh pemerintah.
ICW mencatat ada 10 (sepuluh) persoalan dalam naskah Revisi UU KPK per Februari 2016.
1. Pembentukan Dewan Pengawas KPK yang dipilih dan diangkat oleh Presiden 
Hal yang baru dalam Revisi UU KPK per Februari 2016 adalah keberadaan Dewan Pengawas KPK.
Pada Naskah sebelumnya “organ baru” yang ada adalah Dewan Kehormatan dan Dewan Eksekutif.  Ketentuan mengenai Dewan Pengawas diatur dalam 6 (enam) pasal, yakni Pasal 37A, Pasal 37B, Pasal 37C, Pasal 37D, Pasal 37E, dan Pasal 37F,
Berdasarkan Pasal 37B Ayat 1 huruf c, Dewan Pengawas bertugas: melakukan evaluasi kinerja pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. Selain itu berdasarkan naskah Revisi UU KPK 2016, Dewan Pengawas juga memiliki otoritas penting dalam proses pemberian izin penyadapan dan penyitaan yang dilakukan penyidik KPK.
Persoalan terbesar dalam ketentuan Dewan Pengawas adalah terkait mekanisme pengangkatan dan pemilihan anggota dewan pengawas. Dalam draft RUU KPK Pasal 37 D Ayat 1 disebutkan bahwa Dewan Pengawas dipilih dan diangkat oleh presiden. Namun tidak menjelaskan secara rinci mekanisme pemilihan anggota badan pengawas.
Dengan demikian dapat diartikan bahwa kewenangan memilih anggota dewan pengawas adalah murni menjadi hak prerogatif presiden. Presiden dapat menunjuk siapa saja untuk menjadi anggota dewan pengawas KPK.
Dengan metode yang demikian maka dewan pengawas bertanggungjawab langsung kepada Presiden sebagai pemberi hak. Jika dikaitkan dengan fungsi dan peran dewan pengawas maka akan menimbulkan persoalan lain yang lebih serius.
Dengan kedudukan dewan pengawas yang diangkat dan dipilih presiden maka menempatkan fungsi evaluasi kinerja Pimpinan KPK dalam keadaan yang tidak tepat.
Dengan kedudukan dewan pengawas yang demikian maka tindakan mengevaluasi kinerja pimpinan adalah bentuk campur tangan eksekutif terhadap KPK dan dapat dimaknai sebagai orang titipan Presiden di KPK.
Padahal pada KPK melekat sifat mandiri dan independen. Fungsi tersebut seolah merekonstruksi ulang posisi Dewan Pengawas yang berada setingkat diatas pimpinan KPK.
2. Mekanisme Penyadapan yang harus izin Dewan Pengawas
Ketentuan mekanisme penyadapan mengalami perubahan. Jika pada naskah Revisi UU KPK tahun 2015 sebelumnya harus dengan izin ketua pengadilan, namun dalam naskah revisi UU KPK tahun 2016 mekanisme penyadapan harus melalui izin Dewan Pengawas. 
Dalam Pasal 12A pada intinya disebutkan, penyadapan dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas.
Draf RUU KPK memberikan kewenangan bagi dewan pengawas untuk memberikan persetujuan atas upaya penyadapan yang akan dilakukan KPK. Jika dilihat dari kaca mata kedudukan dewan pengawas, kewenangan ini merupakan bentuk intervensi eksekutif dalam tindakan atau upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK.
Selain itu, draf RUU tidak mengatur mekanisme atau prosedural tentang pemberian persetujuan dewan pengawas., bagaimana jika yang akan disadap adalah anggota dewan pengawas atau jika izin penyadapan tidak diberikan.
3. Penyadapan hanya dapat dilakukan pada tahap Penyidikan
Pada sisi lain Ketentuan dalam Pasal 12 A yang menyebutkan proses penyadapan dilakukan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup juga dimaknai bahwa proses penyadapan hanya dapat dilakukan pada tahap penyidikan, bukan pada tahap penyelidikan sebagaimana yang dilakukan oleh KPK selama ini. Kondisi ini menjadikan langkah penindakan KPK menjadi terhambat dan menyulitkan KPK melakukan reaksi cepat atas informasi praktek penyuapan maupun melakukan operasi tangkap tangan (OTT).
Sebelumnya berdasarkan Pasal 12 UU KPK, pada intinya menyebutkan upaya penyadapan dan merekam pembcaraan dapat dilakukan dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dan tidak mensyaratkan pada adanya bukti permulaan yang cukup.  
4. Muncul dualisme Kepemimpinan di KPK
Secara tidak langsung naskah Revisi UU KPK menimbulkan dualisme kepemimpinan khususnya berkaitan dengan langkah penyadapan yang dilakukan oleh KPK. Pertanggungjawaban terhadap proses penyadapan yang dilakukan oleh penyidik tidak saja disampikan kepada pimpinan KPK namun juga Dewan Pengawas.
Pasal 12 D Ayat 2 menyebutkan Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a yang telah selesai dilaksanakan harus dipertanggungjawabkan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak Penyadapan selesai dilaksanakan.
5. KPK tidak dapat mengangkat penyelidik dan penyidik secara mandiri
Revisi UU KPK terbaru juga menyebabkan KPK kehilangan kemandiriannya dalam melakukan rekrutmen penyelidik dan penyidik.
Dalam Pasal 43 Ayat 1 disebutkan Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan penyelidik yang diperbantukan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia selama menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sedangkan Pasal 45 Ayat 1 disebutkan Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan penyidik yang diperbantukan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang.
Draft RUU KPK menghilangkan perdebatan apakah KPK memiliki kewenangan merekrut penyelidik dan penyidik secara mandiri. KPK hanya boleh merekrut tenaga penyelidik dari Kepolisian.
Sedangkan pada tingkat penyidik KPK dibatasi hanya boleh melakukan rekritmen dari Kepolisian, Kejaksaan dan Penyidik PNS. Sehingga tidak dimungkinkan bagi KPK untuk merekrut secara mandiri penyelidik dan penyidik diluar ketiga unsur tersebut.
6. Hanya Penyidik KPK asal Kepolisian dan Kejaksaan yang dapat melakukan proses penyidikan
Salah satu ketentuan dalam UU KPK yang dihapus oleh DPR adalah Pasal 38 Ayat 2 yang berbunyi “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini”.
Dalam Pasal Pasal 7 ayat 2 KUHAP pada intinya menyebutkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik.
Penghapusan Pasal Pasal 38 Ayat 2 memberikan konsekuensi hanya penyidik KPK yang berasal dari Kepolisian dan Kejaksaan yang dapat melakukan proses penyidikan.
Pegawai KPK yang bukan dari Kepolisian dan Kejaksaan tidak dapat melakukan proses penyidikan. Proses penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik non KPK dianggap tidak sah atau dapat dipersoalkan. 
7. Prosedur Pemeriksaan Tersangka harus mengacu pada KUHAP
Salah satu perubahan yang muncul dalam Revisi UU KPK adalah Prosedur Pemeriksaan Tersangka harus mengacu pada KUHAP. Artinya prosedur pemeriksaan KPK tidak dapat menyimpang dari KUHAP maupun membuat hukum acara tersendiri.
Hal ini jelas disebutkan dalam Pasal 46 Ayat 1 RUU KPK yang menyebutkan “Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka harus berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.”
Ketentuan diatas menghapuskan Pasal 46 Ayat 1 UU KPK yang menyebutkan Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini.
Pada Penjelasan Pasal 46 Ayat 1 UU KPK disebutkan yang dimaksud dengan “prosedur khusus” adalah kewajiban memperoleh izin bagi tersangka pejabat negara tertentu untuk dapat dilakukan pemeriksaan.
Selama ini KPK memiliki prosedur khusus pemeriksaan tersangka– misalnya saja tidak memerlukan izin untuk melakukan pemeriksaan terhadap pejabat tertentu seperti kepala daerah, menteri, maupun pejabat lain.
Dengan keharusan bahwa prosedur khusus pemeriksaan tersangka harus mengacu kepada KUHAP maka dapat akan menjadikan proses pemeriksaan menjadi berlarut-larut karena harus mendapatkan izin dari pejabat berwenang. 
8. KPK dapat menghentikan penyidikan dan Penuntutan perkara korupsi
Salah satu keistimewaan KPK saat ini adalah tidak adanya mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan juga penuntutan (Pasal 40 UU KPK).
Hal ini adalah salah satu parameter yang menjamin kualitas penanganan perkara di KPK yang harus dipastikan sangat matang ditingkat penyelidikan dan sudah dibuktikan pula melalui pembuktian bersalah di pengadilan yang mencapai angka sempurna (100 % conviction rate).
Namum kisah sukses KPK berupaya diubah oleh DPR dengan melakukan Revisi Pasal 40 yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara Tindak Pidana Korupsi.
Kewenangan menerbitkan SP3 justru akan membawa KPK ke level kewenangan yang tidak berbeda  dengan Kepolisian dan Kejaksaan, Hal ini sangat jauh dari semangat awal pembentukannya.
9. Proses Penyitaan harus dengan izin Dewan Pengawas
Salah satu upaya menghambat atau memperlambat proses penindakan KPK, dalam Naskah Revisi UU KPK khususnya Pasal 47  diatur ketentuan bahwa penyitaan baru dapat dilakukan oleh KPK setelah adanya bukti permulaan yang cukup dan dengan izin dari Dewan Pengawas. Padahal sebelumnya (dalam Pasal 47 UU KPK yang berlaku) penyitaan KPK dapat dilakukan tanpa izin Ketua  Pengadilan Negeri.
Keharusan adanya izin penyitaan dari Dewan Pengawas yang bersifat mutlak akan menjadi persoalan apabila Dewan Pengawas menolak memberikan izin penyitaan dengan alasan yang sangat subjektif. Dewan Pengawas dapat saja menolak memberikan izin penyitaan terhadap pelaku yang dikenal dekat dengan lingkungan eksekutif atau Presiden.
10. Tidak ada ketentuan Peralihan
Naskah Revisi UU KPK 2016 tidak mengatur ketentuan tentang masa peralihan . Pasal II Revisi UU KPK 2016 hanya menyebutkan bahwa Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Tiada ketentuan mengenai masa peralihan (seperti yang diatur Pasal 70 dan Pasal 71 UU KPK) akan memberikan konsekuensi apabila Revisi UU KPK ini disahkan maka sebelum Dewan Pengawas terbentuk maka KPK tidak dapat melakukan proses penyadapan dan penyitaan dalam perkara korupsi. [YUS/L-8]