Latest News

Friday, April 3, 2015

Apakah Benar Ekonomi Indonesia Hancur Setelah Jokowi Menjadi Presiden?


Apakah Benar Ekonomi Indonesia Hancur Setelah Jokowi Menjadi Presiden?


Kenaikan harga BBM untuk bulan April telah menyita perhatian publik. Kenaikan yang diumumkan secara resmi pada hari Sabtu (28.3) yang lalu dengan segera menjadi topik pembicaraan utama di berbagai saluran pada dunia maya. Kalau memang ini adalah strategi pengalihan isu dari pemerintah, maka hasilnya adalah sukses besar.
Pada saat yang sama, berkembanglah suatu isu baru di tengah masyarakat: Jokowi menghancurkan ekonomi Indonesia. Dimulai dari pelemahan (lagi) Rupiah terhadap Dollar AS (yang sebenarnya sudah dimulai sejak sebelum Pemilu 2014), berkembang sentimen bahwa kehidupan sehari-hari benar-benar menjadi sesak setelah Jokowi menjadi presiden. Kenaikan harga barang kebutuhan sehari-hari menjelang kenaikan harga BBM memperkuat sentimen tersebut dalam bayangan masyarakat. Sebagai contoh:
  1. www.kaskus.co.id/thread/55161bc6138b463b6f8b456b/share-yuk-dampak-kelesuan-ekonomi-pada-kondisi-usaha-rl-agan-dan-sista-semua/ (link sudah mati sebenarnya, tapi menggambarkan
  2. http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/15/03/28/nlx9t6-pemerintahan-jokowi-lebih-buruk-dari-soeharto
  3. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/03/27/222610026/Harga.BBM.Naik.Lagi.Pemerintah.Dinilai.Terapkan.Manajemen.Warkop
Terlepas dari jelas atau tidaknya pengamat kacangan kemarin sore, yang mengaku dari UGM tapi namanya tidak terdaftar (http://feb.ugm.ac.id/id/profil/dosen-dan-staf.html tidak memuat halaman Ichsadun Noorsy), kita tidak dapat memungkiri kalau memang tumbuh sarkasme sampai pada tahap yang pantas diliput oleh media nasional seperti di atas. Ditambah lagi demonstrasi histeris dari mahasiswa-mahasiswa yang tidak berpikir kritis, namun cukup menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu di beberapa pusat kota. Contoh:
Yang pantas menjadi pertanyaan sekarang adalah, benarkah bahwa ekonomi Indonesia jauh memburuk setelah Jokowi menjadi presiden? Menurut beberapa pihak (termasuk tukang jual obat seperti di atas), betul sekali. Sebagai contoh:
http://www.rtv.co.id/read/news/2571/rupiah-melemah-harga-elektronik-melambung
Link yang pertama (sebelum akhirnya dihapus), juga memuat puluhan komentar dari (orang yang mengaku dirinya) pengusaha yang usahanya menjadi lesu setelah pemilu. Banyak yang harus mengurangi pekerja, mengambil rugi, bahkan menutup usahanya. Jika memang benar adanya, maka kita harus menyimpulkan, Indonesia berada dalam kondisi gawat darurat dan fenomena 17 tahun yang lalu akan terulang kembali. Untuk memastikan ini, kita perlu melihat pola pada tingkat nasional.
Memang betul pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan. Seperti ditunjukkan dari grafik di bawah ini, pertumbuhanekonomi nasional melambat dari 6,2 % pada tahun 2012 menjadi 5,1 % pada tahun 2015. Dengan kata lain, ada beberapa ribu trilyun rupiah yang tidak berhasil didapatkan pada setahun terakhir.
14278387581562889741
Sumber: Pertumbuhan ekonomi Indonesia, sumber: worldbank.com
14278388591096494214
Sumber: Pertumbuhan ekonomi ASEAN, cokelat muda Malaysia, sumber: worldbank.com
Pada saat yang sama, data Bank Dunia menunjukkan bahwa pertumbuhan di negara-negara ASEAN lainnya juga mengalami pola yang sama: perlambatan pertumbuhan sebesar kira-kira 1-1,5 %. Jadi ada faktor lain yang ikut bekerja. (Catatan: Bahwa Indonesia memulai dari posisi yang lebih rendah adalah sepenuhnya kesalahan sendiri, bukan kondisi umum). Jadi tidak benar kalau Presiden Jokowi menyebabkan secara langsung kelesuan ekonomi, namun kebetulan saja.
Tuduhan berikutnya adalah pelemahan Rupiah yang membuat importir, baik bahan konsumsi ataupun barang modal, menjadi kesulitan. Kenaikan harga Dollar ini membuat pedagang elektronik kesulitan, karena harga barang jualannya melonjak. Inilah perubahan harganya dalam setahun terakhir:
1427838925323558238
Sumber: Rupiah vs Dollar setahun terakhir, sumber:xe.com
Namun perhatikan dua grafik berikut. Pelemahan bukan hanya drasakan oleh Rupiah, namun juga oleh mata uang besar lainnya seperti Euro dan Dollar Australia. Seperti kasus sebelumya, pelemahan ini bukan merupakan anomali untuk Indonesia, namun merupakan kejadian global. Lebih lagi, kasus ini menunjukkan pendeknya ingatan publik Indonesia. Jika anda melihat lagi grafik Rupiah (dan melihat dalam 2 tahun ke belakang), tampaklah bahwa pelemahan sudah dimulai jauh di masa pemerintahan SBY. Kenapa tidak ada yang menyalahkan SBY?
1427839867743506598
Sumber: Dollar Australia vs Dollar AS, sumber:xe.com
14278399362109198429
Sumber: Euro vs Dollar AS, sumber:xe.com
Tuduhan lain yang sering dikeluarkan adalah bahwa harga bahan pokok naik gila-gilaan dan menjadi tidak terjangkau untuk sebagian besar orang, tidak hanya pada kenaikan yang ini, tapi sudah memanjang jauh sejak Jokowi dilantik. Contoh:
http://www.kaskus.co.id/post/551a91b498e31be16b8b456c#post551a91b498e31be16b8b456c
Kabar kenaikan sudah diketahui beberapa hari sebelum pengumuman resmi dan efeknya biasanya sudah dimulai lebih awal. Namun perlu dicermati bahwa kenaikan harga tidak seperti yang dilaporkan. Berikut data dari Kementrian Perdagangan untuk bulan Maret 2015:
1427840009962977308
Sumber: Bawang Maret 2015, sumber:kemendag.go.id
14278400701767453324
Sumber: Beras Maret 2015, sumber:kemendag.go.id
14278401461336818568
Sumber: Cabe Maret 2015, sumber:kemendag.go.id
1427840211731877084
Sumber: Telur Maret 2015, sumber:kemendag.go.id
Jika dilihat harga pada bulan Maret 2014 (setahun sebelumnya), telur, beras, dan cabe mengalami kenaikan sesuai laju inflasi. Yang berubah signifikan adalah bawang merah. Saya tidak bisa menjelaskan perubahan harga bawang (mungkin di Brebes sedang sering hujan), tapi yang saya mengerti, perubahan harga ‘gila-gilaan’ sejak Jokowi naik tidak dapat didukung oleh data. Yang menarik, harga-harga justru ‘menggila’ pada presiden sebelumya.
14278402602066327339
Sumber: Harga di masa SBY, sumber:bps.go.id
Apakah yang bisa kita tarik dari sini? Ada beberapa hal. Pertama, kita harus kritis terhadap opini yang beredar di berbagai saluran pendapat di sekitar kita. Jangan mudah terhasut oleh sesuatu yang belum tentu benar. Disinilah seharusnya mahasiswa mengambil peran yang aktif. Data-data yang saya gunakan tersedia gratis dari BPS, Kemendag, dan Bank Dunia. Mereka dapat ditemukan dengan sedikit ‘googling’, jadi kalau anda mengaku intelektual dan punya akses internet, tidak ada alasan untuk tidak riset sedikit sebelum beropini (termasuk pengamat kelas kambing macam Enny Sri Hartati). Musuh utama demokrasi adalah rakyat yang tidak membuka mata.
Kedua, kita harus sadar kalau Indonesia adalah bagian dari ekonomi dunia. Kejadian di satu tempat yang jauh seperti New York dapat mempengaruhi kehidupan kita. Jadi, jangalah seperti katak dalam tempurung yang dunianya terbatas oleh besar tempurungnya itu. Kalau memang sesuatu terjadi (baik atau tidak), kita harus sadar bahwa mungkin ada satu hal besar lain yang lebih besar terlibat di situ.
Terakhir, anda boleh percaya sama data yang saya kutip. Anda juga berhak untuk tidak percaya. Bukan urusan saya, seperti kata Jokowi. Yang penting, kalau anda yakin bahwa BPS dan Kemendag adalah tukang mengarang bebas yang tidak hidup dalam kenyataan, silahkan bawa data anda sendiri yang bisa dibuktikan didapatkan secara kredibel. Saya tunggu....he...he...he...
Update: Tulisan lanjutan tentang BBM vs harga
Dibaca : 1978 kali
http://m.kompasiana.com/post/read/710056/3/apakah-benar-ekonomi-indonesia-hancur-setelah-jokowi-menjadi-presiden.html

No comments:

Post a Comment