Tragis, Ahok Menjadi Satu2nya Pilihan
Pro Kebhinekaan di Pilkada DKI 2017.
Setelah proses kampanye yang melelahkan batin dan emosi bangsa, maka Pilkada DKI 2017 tinggal menyisakan Ahok-Djarot sebagai satu2nya pilihan bagi yang pro kebhinekaan. Sentimen SARA yang dihembuskan keras sejak demo 411, dan 212 terus bergulir sampai isu Ulama telah membawa Pilkada DKI 2017 ke level terendah secara moral kebangsaan.
Awalnya, Agus-Ahok-Anies mewakili pemimpin2 muda yang bisa memberikan kebaruan2 dalam ide, gagasan, strategi, sampai ke program2. Tapi apa lacur, rupa2nya SBY dan Prabowo dua tokoh utama penggerak Agus dan Anies memiliki skenario lain.
Kasus buka2an SBY soal telpon ke ketua MUI telah menggerus elektabilitas AHY sampai kebuncit. Dan dengan sigapnya, Prabowo melihat ini sebuah kesempatan. Tanpa malu lagi, seperti anak kecil yang sudah ngebet es krim, Prabowo dalam kampanyenya mengatakan :
Saudara2, kalau kalian ingin saya jadi presiden 2019, Anies-Sandi gubernur DKI, betul? Di 2019, kalian harus kerja keras, kalian juga harus kerja keras di Februari 2017, jangan di sini teriak2.
Pernyataan yang secara lugas memperlihatkan ambisi yang sangat besar. Bukan sesuatu yang melanggar hukum, tapi secara etika, moral, dan akal sehat sangat mengganggu kebatinan para pendukung NKRI dan Kebhinekaan.
Karena ambisi yang sangat besar itu maka AGAMA telah digunakan untuk memenuhi target dan cita2 akan kekuasaan. Lupa bahwa posisi dan kekuasaan adalah amanah, milik Tuhan.
Emmy Hafild seorang aktifis sosial, politik, dan lingkungan hidup menulis dengan apik kritikan terhadap teman2nya Rocky Gerung, Rachlan Nashidiq, Bambang Widjojanto, Edriana Noerdin yang telah menjadi pendukung paslon 1 dan 3.
Emmy pada dasarnya menyayangkan para aktifis yang dahulunya memperjuangkan NKRI yang Bhinneka tapi sekarang menggunakan isu sektarian untuk mengelabuhi masyarakat DKI.
Dengan diam terhadap apa yang sedang terjadi saat ini terhadap Ahok, kalian menghianati perjuangan kita dan mempunyai andil yang besar terhadap upaya penghancuran fondasi kebangsaan negeri ini.
Tidak usah mengelabui warga DKI dengan mengatakan kandidat yang telah kalian dukung tidak pernah mengucapkan hal2 yang bersifat sektarianisme, karena semua itu sangat gamblang terjadi di depan mata kita semua. Mendiamkan apalagi mengambil untung dari penggorengan issu itu di publik sama bersalahnya dengan mengucapkan kata2 tersebut langsung dari mulut kandidat yang kalian dukung.
Kalimat keras dari Emmy memang mewakili kita semua yang memperjuangkan nasionalisme lepas dari unsur SARA. Bahkan tanpa merasa berdosa, di web resminya, tim Anies-Sandi beralibi bahwa 80% masyrakat DKI menghendaki dari mayoritas, yaitu orang Islam.
Pernyataan yang sangat menyakitkan relawan2 seperjuangan yang sedang membangun tenun kebangsaan yang sepakat bahwa di NKRI tidak ada kata mayoritas ataupun minoritas, semua adalah WNI. Terasa bahwa selama ini terjadi pembodohan yang masif yang intinya kalau mencari suara kita nasionalis (agama apapun), kalau memilih pemimpin harus Islam.
Kalau sejak awal menyatakan bahwa pemimpin harus Islam, tentunya itu suatu pilihan yang harus dihargai, tapi ketika di awal mengatakan “agama apapun boleh”, “tidak ada mayoritas dan minoritas”, “kita semua satu bangsa”, kemudian tiba2 berbalik mengatakan “harus Islam”, “harus mayoritas”, “kita adalah satu iman”, bukankah ini sebuah kemunafikan yang sudah keterlaluan..??
Harus diingat, isi ini tidak akan berhenti di 15 Februari 2017, Prabowo sudah membuka pintu perang politik 2019, dan dari pidatonya dan manuver Anies-Sandi jelas dia akan tetap menggoreng isu SARA. Apalagi kalau Jokowi memilih pasangan yang moderat atau bahkan non-muslim. Kegilaan Pilpres 2019 bisa melebihi 2014.
Harus diingat bahwa munculnya Nasionalis vs Agama ini dimulai di Pilkada DKI 2012, dan mengerucut di 2014 dan terus dilestarikan oleh kelompok KMP (yang sudah bubar) sampai sekarang. Artinya, sebenarnya oknum intelektual hanya itu2 saja, tapi karena mereka masih in position, maka pemain2 baru seperti Anies-Sandi, dan AHY menjadi pion2 yang tidak lagi menjadi calon pemimpin yang bisa diharapkan untuk membuat perubahan (dalam posisi ini).
Satu hal yang perlu di-highlight. Sebagai orang gereja, saya bisa memberi kesaksian bahwa Ahok selama kampanye ini tidak blusukan ke gereja2 dan kemudian memberikan tausiyah kristen dan mencari suara di ceruk2 kristen.
Ahok tidak pernah mencoba mengklarifikasi dia bukan liberal, injili, karismatik, katolik, ataupun protestan. Bahkan terasa sekali ada jarak antara gereja dan Ahok. Meskipun Ahok sesekali terlihat diundang dalam forum diskusi tentang nasionalisme dan kristen, tapi terlihat jelas Ahok TIDAK PERNAH menggunakan sentimen agama untuk mencari suara.
Saya sangat menghargai itu. Apabila Ahok ke mimbar2 gereja meminta dukungan, saya jadi orang didepan yang akan menentang Ahok. Dan, puji Tuhan, Ahok tidak mengkhamiri mimbar dengan politik, dan justru dengan kemurnian Ahok itu, dukungan Ahok dari warga gereja bisa maksimal. Bukan karena Ahok kristen, tapi karena Ahok bekerja dengan bersih, transparan, dan profesional. Catat itu!
Sebagai kesimpulan, Ahok menjadi paslon yang satu2nya mengusung kebhinekaan, yang lain hanya menggunakan isu kesatuan untuk meraup suara. Bagi yang pro kebhinekaan, NKRI yang murni, dan Pancasila yang bukan piagam Jakarta, maka se akan2 malah “dipaksa” milih Ahok. Tidak ada pilihan lain.
Setelah proses kampanye yang melelahkan batin dan emosi bangsa, maka Pilkada DKI 2017 tinggal menyisakan Ahok-Djarot sebagai satu2nya pilihan bagi yang pro kebhinekaan. Sentimen SARA yang dihembuskan keras sejak demo 411, dan 212 terus bergulir sampai isu Ulama telah membawa Pilkada DKI 2017 ke level terendah secara moral kebangsaan.
Awalnya, Agus-Ahok-Anies mewakili pemimpin2 muda yang bisa memberikan kebaruan2 dalam ide, gagasan, strategi, sampai ke program2. Tapi apa lacur, rupa2nya SBY dan Prabowo dua tokoh utama penggerak Agus dan Anies memiliki skenario lain.
Kasus buka2an SBY soal telpon ke ketua MUI telah menggerus elektabilitas AHY sampai kebuncit. Dan dengan sigapnya, Prabowo melihat ini sebuah kesempatan. Tanpa malu lagi, seperti anak kecil yang sudah ngebet es krim, Prabowo dalam kampanyenya mengatakan :
Saudara2, kalau kalian ingin saya jadi presiden 2019, Anies-Sandi gubernur DKI, betul? Di 2019, kalian harus kerja keras, kalian juga harus kerja keras di Februari 2017, jangan di sini teriak2.
Pernyataan yang secara lugas memperlihatkan ambisi yang sangat besar. Bukan sesuatu yang melanggar hukum, tapi secara etika, moral, dan akal sehat sangat mengganggu kebatinan para pendukung NKRI dan Kebhinekaan.
Karena ambisi yang sangat besar itu maka AGAMA telah digunakan untuk memenuhi target dan cita2 akan kekuasaan. Lupa bahwa posisi dan kekuasaan adalah amanah, milik Tuhan.
Emmy Hafild seorang aktifis sosial, politik, dan lingkungan hidup menulis dengan apik kritikan terhadap teman2nya Rocky Gerung, Rachlan Nashidiq, Bambang Widjojanto, Edriana Noerdin yang telah menjadi pendukung paslon 1 dan 3.
Emmy pada dasarnya menyayangkan para aktifis yang dahulunya memperjuangkan NKRI yang Bhinneka tapi sekarang menggunakan isu sektarian untuk mengelabuhi masyarakat DKI.
Dengan diam terhadap apa yang sedang terjadi saat ini terhadap Ahok, kalian menghianati perjuangan kita dan mempunyai andil yang besar terhadap upaya penghancuran fondasi kebangsaan negeri ini.
Tidak usah mengelabui warga DKI dengan mengatakan kandidat yang telah kalian dukung tidak pernah mengucapkan hal2 yang bersifat sektarianisme, karena semua itu sangat gamblang terjadi di depan mata kita semua. Mendiamkan apalagi mengambil untung dari penggorengan issu itu di publik sama bersalahnya dengan mengucapkan kata2 tersebut langsung dari mulut kandidat yang kalian dukung.
Kalimat keras dari Emmy memang mewakili kita semua yang memperjuangkan nasionalisme lepas dari unsur SARA. Bahkan tanpa merasa berdosa, di web resminya, tim Anies-Sandi beralibi bahwa 80% masyrakat DKI menghendaki dari mayoritas, yaitu orang Islam.
Pernyataan yang sangat menyakitkan relawan2 seperjuangan yang sedang membangun tenun kebangsaan yang sepakat bahwa di NKRI tidak ada kata mayoritas ataupun minoritas, semua adalah WNI. Terasa bahwa selama ini terjadi pembodohan yang masif yang intinya kalau mencari suara kita nasionalis (agama apapun), kalau memilih pemimpin harus Islam.
Kalau sejak awal menyatakan bahwa pemimpin harus Islam, tentunya itu suatu pilihan yang harus dihargai, tapi ketika di awal mengatakan “agama apapun boleh”, “tidak ada mayoritas dan minoritas”, “kita semua satu bangsa”, kemudian tiba2 berbalik mengatakan “harus Islam”, “harus mayoritas”, “kita adalah satu iman”, bukankah ini sebuah kemunafikan yang sudah keterlaluan..??
Harus diingat, isi ini tidak akan berhenti di 15 Februari 2017, Prabowo sudah membuka pintu perang politik 2019, dan dari pidatonya dan manuver Anies-Sandi jelas dia akan tetap menggoreng isu SARA. Apalagi kalau Jokowi memilih pasangan yang moderat atau bahkan non-muslim. Kegilaan Pilpres 2019 bisa melebihi 2014.
Harus diingat bahwa munculnya Nasionalis vs Agama ini dimulai di Pilkada DKI 2012, dan mengerucut di 2014 dan terus dilestarikan oleh kelompok KMP (yang sudah bubar) sampai sekarang. Artinya, sebenarnya oknum intelektual hanya itu2 saja, tapi karena mereka masih in position, maka pemain2 baru seperti Anies-Sandi, dan AHY menjadi pion2 yang tidak lagi menjadi calon pemimpin yang bisa diharapkan untuk membuat perubahan (dalam posisi ini).
Satu hal yang perlu di-highlight. Sebagai orang gereja, saya bisa memberi kesaksian bahwa Ahok selama kampanye ini tidak blusukan ke gereja2 dan kemudian memberikan tausiyah kristen dan mencari suara di ceruk2 kristen.
Ahok tidak pernah mencoba mengklarifikasi dia bukan liberal, injili, karismatik, katolik, ataupun protestan. Bahkan terasa sekali ada jarak antara gereja dan Ahok. Meskipun Ahok sesekali terlihat diundang dalam forum diskusi tentang nasionalisme dan kristen, tapi terlihat jelas Ahok TIDAK PERNAH menggunakan sentimen agama untuk mencari suara.
Saya sangat menghargai itu. Apabila Ahok ke mimbar2 gereja meminta dukungan, saya jadi orang didepan yang akan menentang Ahok. Dan, puji Tuhan, Ahok tidak mengkhamiri mimbar dengan politik, dan justru dengan kemurnian Ahok itu, dukungan Ahok dari warga gereja bisa maksimal. Bukan karena Ahok kristen, tapi karena Ahok bekerja dengan bersih, transparan, dan profesional. Catat itu!
Sebagai kesimpulan, Ahok menjadi paslon yang satu2nya mengusung kebhinekaan, yang lain hanya menggunakan isu kesatuan untuk meraup suara. Bagi yang pro kebhinekaan, NKRI yang murni, dan Pancasila yang bukan piagam Jakarta, maka se akan2 malah “dipaksa” milih Ahok. Tidak ada pilihan lain.
BY HANNY SETIAWAN
ON FEBRUARY 6, 2017
(Pendekar Solo)
ON FEBRUARY 6, 2017
(Pendekar Solo)
https://www.facebook.com/agathakoesnadi?fref=ufi&rc=p
No comments:
Post a Comment