Anda Perlu Tahu… Inilah 5 Kelompok yang Paling Takut Jika Ahok Terpilih Kembali Jadi Gubernur DKI
Walau Pilkada DKI Jakarta baru akan diselenggarakan tahun depan, 2017, namun gemanya sudah ke mana-mana, dan melalui jaringan internet, gema tersebut mendunia, termasuk ke Rusia.
Itulah kondisi dunia saat ini, dunia seakan sudah dilipat sedemikian rupa, sehingga hanya dalam hitungan menit, sebuah berita atau kejadian menyebar ke seantero dunia, luar biasa. Dan salah satunya yang sedang ramai di Indonesia, ya pilkada ini, kebetulan yang menjadi focus sentral adalah Ahok orang nomor satu di DKI Jakarta, yang sepak terjangnya menimbulkan pro dan kontra.
Terlepas dari semua itu, ada hal yang menarik yang menjadi perhatian kita bersama, terlepas dari pro dan kontra, adalah sang tokoh pertama di DKI Jakarta, Ahok, yang gelagatnya akan mencalonkan dirinya kembali ke kancah perang tanding di Pilkada 2017 mendatang. Maka dunia dalam beritapun menjadi ramai, terjadi dua kubu yang saling berhadapan, yang pro pada Ahok membentuk temannya Ahok, entah ikhlas atau tidak saya tak tahu, jangan-jangan seperti yang terjadi pada Pilpres 2014 lalu, banyak yang menyatakan sukarelawannya Jokowi, namun saat Jokowi menang, sang sukarelawan ternyata banyak yang menagih pada Jokowi, entah itu jabatan menteri atau jabatan lainnya, akh rupanya mereka bergerak menjadi sukarelawan Jokowi seperti kata pepatah” ada udang di balik batu” atau seperti pepatah dari Barat sana” tak ada makan siang gratis”.
Kekhawatiran ini perlu menjadi perhatian Ahok juga, jangan-jangan temannya Ahok yang mulai bergerak mengumpulkan tanda tangan/KTP agar mendukung Ahok, ada maunya, tentu saja jabatan atau proyek apa gitu, ini hanya kwatir saja, sukur-sukur sih mereka memang ikhlas menjadi teman Ahok, benar atau tidaknya saya tak tahu. Lalu bagaimana peluang Ahok untuk mencapai kemenangan pada Pilkada tersebut, ternyata inipun banyak yang beda pendapat juga, ada yang bilang Ahok akan menang telak, ada juga yang bilang Ahok kalah, tapi tidak telak.
Ya wajar saja, namanya juga perkiraan, bisa benar, bisa juga salah, loh yang pakai survey saja dengan data-data yang katanya ilmiah, dan margin errornya hanya sekitar 1-2 persen saja, namun ketika perhitungan pada Pilpres 2014 lalu, hasil lembaga-lembaga survey ternyata “nol besar”, buktinya PKS atau partai Islam lainnya, yang katanya akan hancur lebur alias tak ada yang milih pada Pilpres dan Pileg 2014, karena tokohnya ada yang korupsi, terbantahkan. PKS tetap masuk ke partai besar, walau tak sampai 3 besar. Nah kalau hasil survey saja, bisa berbalik 180 derajat, apa lagi kalau hanya dalam bentuk perkiraan dan analisa dari “ gunung”, ya maklum saja.
Kembali ke Ahok, rupanya Ahok punya target lain sesudah menjadi Gubernur DKI, yaitu Presiden RI, entah menjadi Presiden yang ke 8, 9 atau ke 10 itu tak penting, yang penting target Ahok tercapai dan itu tak dikatakan dengan sembunyi, Ahok yang memang berjiwa terbuka, apa saja langsung di keluarkan, gayanya yang ceplas ceplos, tak mengurangi kenirjanya yang bagus, berani, tegas, dan tak kenal kompromi, untuk hal-hal yang memang menjadi perhatianya dalam membangun DKI Jakarta yang lebi baik. Namun rupanya banyak juga yang “kebakaran jenggot” atau terusik dengan gaya Ahok dalam memimpin Jakarta, dan saat Ahok akan ikut Pilkada lagi, banyak pula yang “gerah”, siapa mereka? Mari kita lihat sepintas lalu saja, dan tak perlu sampai mengernyitkan dahi, hingga berkerut.
Pertama, tentu para pejabat di DKI Jakarta yang buruk kinerjanya, tentu saja bukan pejabat yang bersih, yang bekerja memang sudah sesuai aturan dan tidak korup. Bagi pejabat yang bersih, tak akan pernah takut pada Ahok. Namun bagi pejabat yang sudah biasa korup dan suka memanipulasi anggaran, akan ketar ketir lagi jika Ahok menjadi Gubernur lagi alias menang pada Pilkada 2017. Mengapa pejabat buruk di DKI Jakarta ketakutan kalau Ahok menang lagi? Alasannya singkat, mereka takut dipecat! Kalau sekarang belum dipecat, karena bisa saja belum ketahuan Ahok, tapi bila ketahuan, Ahok tanpa ba, bi, bu , akan “disikat” langsung pejabat yang korup tersebut, kerenkan.
Kedua, mereka yang terbiasa suka kongkolingkong dengan pejabat DKI Jakarta untuk mendapatkan proyek, tentu saja untuk mendapatkan proyek tersebut tak gratis, ada “amplop” yang perlu diberikan. Kalau hanya amplopnya saja sih tak masalah, tapi ini isinya bung, ya isinya pun tak muat kalau dimasukan dalam amplop, karena begitu banyaknya. Makanya istilah mendapat amplop, bukan arti harpiah, sebesar amplop, kalau sebesar amplop surat, ya itu sih kecil! Tapi ini bisa berkardus-kardus atau berkoper-koper, mengapa uang tunai? Karean akalu pakai Bank, ada buti tranferan, wah ini akan mudah terlacak oleh KPK.
Nah pejabat di DKI yang suka kongkolingkong ini akan bertambah gemetaran, jika Ahok terpilih lagi menjadi Gubernur DKI Jakarta, karena hal tersebut akan membuat Ahok lebih keras lagi, selain memang untuk menuju Jakarta yang baru, yang lebih baik lagi, ada target lain, yaitu jenjang yang lebih tinggi lagi, Presiden, paling tidak menjadi Capres dulu. Kapan itu, tentu tak jauh-jauh dari Pilkada 2017, yaitu Pilpres 2019, jikapun belum gool di tahun 2019, masih ada waktu bagi Ahok di tahun 2024, karena dalam Usia Ahok masih jauh dari 70 tahunan. Loh yang tua-tua saja masih pada mau maju di pilpres 2019, apa lagi bagi yang “muda-muda” atau lebih muda, tentu lebih wajar lagi. Maka jika Ahok punya target di Pilpres 2019 atau 2024 ya normal saja.
Ketiga, tempat-tempat hiburan ataupun tempat yang illegal lainnya, baik itu yang sudah permanent atau yang masih setengah permanen, apa lagi yang menempati tanah-tanah milik Negara di bantaran sungai atau rel kereta api, atau di manapun adanya, dan itu illegal di DKI Jakarta, maka siap-siap akan digusur oleh Ahok, dan dalam hal yang satu ini, Ahok benar-benar tak bisa diajak kompromi, walaupun hal tersebut rakyat miskin, bagi Ahok yang menempati tanah Negara yang illegal akan “disikat” habis. Hebatnya Ahok sudah mempersiapkan rumah susunnya, sebagai pengganti yang digusur, dan itu gratis. Luar biasa, jadi Ahok bukan hanya main gusur, tapi sudah memberikan solusinya.
Namun hal ini, tak mengurangi kebencian pada Ahok, mengapa? Karena kalau bukan Ahok yang menjadi Gubernur, belum tentu mereka digusur dan dipindahkan. Bagi mereka yang sudah biasa menempati ruang illegal dan sudah bertahun-tahun, kebanyakan mereka tak suka pada Ahok, makanya kalau Ahok menang lagi merekapun ketakutan, takut digusur Ahok.
Keempat, lawan politiknya atau bekas teman politiknya, yang merasa “dikhianati” oleh Ahok di partai Gerindera. Nah pihak yang satu inipun berusaha “menjegal” Ahok dengan memunculkan lawan yang sebanding dengan Ahok, dan lupa, kalau Ahok dikeroyok, Ahok akan menang telak, kecuali kalau lawan politik Ahok bersatu padu dan bergabung mencalonkan satu orang kandidat melawan Ahok, yang kekuatan elektabilits dan kepopulerannya tak jauh beda dengan Ahok, nah kemungkinan menang antara Ahok dengan lawannya akan fifty-fifty.
Bagi lawan politik Ahok, jelas Ahok adalah tantangan yang berat, hal ini tentu membuat lawan Ahok “putar otak” agar bisa mengalahkan Ahok. Jadi lawan politik Ahok, yang bisa jadi awalnya adalah teman Ahok juga, akan berusaha “mati-matian” untuk mengalahkan Ahok. Apa lagi Ahok adalam pilkada 2017 mendatang dari jalur independent. Klop sudah pertarungan berat ini.
Kelima, orang-orang atau lembaga yang besebrangan dengan Ahok, Ahok mau bagus atau tidak kinerganya itu tak penting, yang penting tahun 2017 mendatang, Ahok harus “dilumpuhkan”, Ahok harus dikalahkan, karena kalau Ahok menang lagi, Ahok akan semakin kuat kedudukannya, dan tentu saja keberanianpun akan bertambah, karena didukung rakyat Jakarta, maka orang atau lembaga yang bersebrangan dengan Ahok mau tak mau, harus berjuang keras mengalahkan Ahok.
Itulah 5 kelompok yang lagi uring-uringan jika Ahok menang lagi dalam Pilkada 2017 mendatang. Silahkan anda menambah sendiri, kelompok atau orang yang akan “panas dingin atau meriang” kalau Ahok menang lagi. Bagi saya, Ahok menang atau kalah, ya biasa saja, tak berpengaruh apa-apa. Sikap netral ini harus dimunculkan, agar tak salah penafsiran.
Mengapa harus demikian? Kalau tidak, bisa bahaya dalam demokrasi kita. Media apapun, termasuk media social, seharusnya netral, agar tak jadi keberpihakan dan seimbang dalam pemberitaan. Jangan sampai terjadi, kalau menulis, membuat berita atau mengkritik Ahok dianggap membenci, atau ketika menulis tentang bagusnya kenirja Ahok, lantas dianggap mendukung, hal tersebut tak boleh terjadi.(salafynews.com)