Latest News

Wednesday, February 5, 2014

Membaca Pikiran Megawati

Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri (kiri) dan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (kanan) saat menghadiri acara serial Seminar Dewan Guru Besar Universitas Indonesia, di Kampus UI Salemba, Jakarta, Sabtu (30/11/2013). Seminar yang mengambil tema 'Indonesia Menjawab Tantangan Kepemimpinan Menuju Bangsa Pemenang' tersebut sebelumnya juga menghadirkan sejumlah tokoh seperti Prabowo Subianto, Dahlan Iskan, Gita Wirjawan, Wiranto, Mahfud MD dan Abraham Samad.

Membaca Pikiran Megawati

”Megawati adalah lembar tak terbuka diiringi diam dan hemat kata. Semakin keputusan dinanti, semakin akhir kata terang biasanya didapati. Orang-orang belajar dari sikapnya, lebih banyak dari perkataan dan retorikanya. Cukup lama dia geming membatu, menyindir kekuasaan yang penuh ragu. Visinya tak selalu mudah dimengerti, gagasannya lebur di dalam aksi partai. Megawati hidup di era kesaksian, bukan pengumbar jurus pencitraan. Di kala partai ramai-ramai berkoalisi, Megawati sedikit dari yang tak terbeli. Kini keputusan Megawati dinanti, apakah akan maju kembali atau mengucap permisi.”
Untaian kata yang amat indah itu diutarakan Najwa Shihab di akhir bincang-bincangnya dengan Megawati Soekarnoputri pada acara Mata Najwa di Metro TV, Rabu, 22 Januari 2014. Kata-kata puitis itu sungguh menggambarkan bagaimana sosok Megawati Soekarnoputri.
Mega memang sosok pribadi yang tegas dan selalu melangkah dalam perhitungan politik yang sulit ditebak. Ia bicara dan bertindak sesuai dengan hati nuraninya, bukan karena perhitungan politiknya semata, melainkan juga didukung oleh pengalaman-pengalaman politiknya yang kelam di masa lalu. Ia bukan sosok pemimpin politik yang bodoh karena hanya lulusan SMA. Tak banyak orang tahu bahwa ia dipaksa untuk tidak kuliah lagi di sebuah universitas ternama di kota kembang oleh seorang rektor yang kebetulan sama-sama berideologi nasionalis.
Mega mengalami manisnya kekuasaan saat ayahnya menjadi presiden pertama RI atau saat ia sendiri menjadi wakil presiden dan kemudian menjadi presiden ke-5 RI. Namun, ia juga mengalami betapa pedihnya saat ayahnya dan ia sendiri menjadi target operasi dari tangan-tangan penguasa di negeri ini, baik pada era Orde Baru maupun era Reformasi. Karena itu, jangan heran jika Mega tidak jarang melangkah secara hati-hati.
Mega tentunya tak akan pernah lupa isi surat wasiat yang ditulis Bung Karno di tahanan rumah di Wisma Yaso (kini Museum Tentara Nasional Indonesia Satria Mandala, Jakarta), Februari 1970. Bunyinya: ”Anakku, simpan segala yang kau tahu. Jangan ceritakan deritaku dan sakitku kepada rakyat, biarlah aku yang menjadi korban asal Indonesia tetap bersatu. Ini kulakukan demi kesatuan, persatuan, keutuhan, dan kejayaan bangsa. Jadikanlah deritaku ini sebagai kesaksian bahwa kekuasaan seseorang Presiden ada batasnya karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan yang Maha Esa”.
Bagi Mega, persatuan, kesatuan, keutuhan, dan kejayaan bangsa adalah segalanya. Ia tentunya juga tak lupa bait lagu ”Indonesia Raya” yang mengajak seluruh bangsa Indonesia agar ”bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya”. Tidaklah mengherankan jika keinginan, cita-cita, dan mata hati Mega, seperti yang diungkapkannya kepada Najwa Shihab, adalah Indonesia Raya.
Dua untaian kata, Indonesia Raya, sungguh merasuk kembali ke dalam kalbu rakyat Indonesia. Ini bisa dilihat dari resonansi yang terjadi setelah Mata Najwa ditayangkan 22 dan 23 Januari 2014. Hitungan dengan Twetreach menunjukkan ada lebih dari 1.600 tweets yang mengutip Indonesia Raya, menjangkau 6,4 juta akun Twitter dan menghasilkan 8,7 juta terpaan balik. Tayangan ulang pada 25 Januari menambah kembali 800 resonansi pembicaraan mengenai Indonesia Raya, menjangkau 700.000 Twitter, dan menghasilkan 3 juta terpaan balik.
Tahun penentuan
KOMPAS/HENDRA A SETYAWANPeneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bakti.
Mega juga sadar 2014 adalah tahun penentuan bagi masa depan bangsa Indonesia apakah kita mampu menyatukan langkah untuk Indonesia Raya atau kita akan tetap menjadi ”Bangsa
Kuli” yang sebagian elite politik dan pengusahanya menjadi komprador asing. Karena itu, menentukan siapa calon presiden dan wakil presiden yang akan diusung PDI-P bukan persoalan gampang bagi dirinya.
Ketika tak sedikit lembaga survei menyatakan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) menduduki peringkat teratas sebagai bakal capres pilihan rakyat, Mega tetap bergeming. Demokrasi bukan hanya hitungan angka, melainkan juga memilih pemimpin yang berkarakter kebangsaan. Bagi Mega, tampaknya memilih presiden bukan seperti memilih bintang sinetron atau penyanyi pilihan pemirsa televisi.
Seorang pemimpin bangsa yang berkarakter bukan saja memiliki hati nurani, mampu menggerakkan rakyat untuk Indonesia Raya, mau bekerja keras untuk rakyat, mau dekat dengan rakyat, melainkan juga harus memiliki ideologi nasionalisme yang kuat dan paham betul Trisakti-nya Bung Karno (berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian bangsa).
Tak heran apabila Mega dalam banyak kesempatan selalu mengajak Jokowi menyambangi rakyat di sejumlah wilayah, bukan saja sebagai bagian dari pendidikan politik buat Jokowi, melainkan juga untuk menilai apakah Jokowi siap memimpin bangsa ini. Jokowi memang terlalu cepat menjadi capres karena itu harus didampingi seorang negarawan senior yang dapat diterima seluruh bangsa Indonesia. Dari berbagai pilihan, bukan mustahil Jusuf Kalla adalah pendamping Jokowi yang paling tepat.
Mengapa Mega belum mendeklarasikan capres/cawapres PDI-P? Ada beberapa penyebab, antara lain, Mega tidak ingin capres/cawapres PDI-P akan menjadi sasaran tembak dari berbagai upaya kecurangan pemilu. Kecurangan dapat saja dilakukan aparat pelaksana dan pendukung pemilu seperti dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), birokrasi pemerintahan dari pusat sampai daerah, aparat pertahanan dan keamanan negara (TNI, Polri dan intelijen negara), dan panitia pemilu di TPS-TPS.
Tahun pemilu ini bukan hanya tahun penentuan, melainkan juga tahun saat kita sebagai bangsa dapat membangun kembali karakter bangsa, termasuk aparat negara untuk berani menyerempet bahaya (vivere pericoloso) sesuai dengan hati nuraninya menyingkirkan semua yang jadi penghalang (rawe-rawe rantas, malang-malang putung) bagi berkembangnya demokrasi dan kejayaan negeri ini.
Tak mau menodai pemilu
Kita tidak sedang hidup dalam suasana yang berbahaya atau menakutkan seperti yang digambarkan penulis Australia, Christopher Koch, dalam buku (kemudian difilmkan) The Year of Living Dangerously mengenai situasi Indonesia menjelang 30 September 1965. Kita juga tidak dalam situasi politik yang memperhadapkan ideologi Pancasila dan Islam seperti pada era 1950-an dan era Orde Baru.
Dalam konteks itu, Megawati mirip dengan Bung Karno yang tak mendikotomikan nasionalisme dan Islam. Apabila Soekarno dulu memberi kesempatan kepada tokoh Masyumi, Mohammad Natsir, untuk membentuk kabinet pada 1950, Megawati selalu memikirkan bagaimana memberi peran kepada Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam politik Indonesia kini dan masa depan. Megawati juga mirip dengan PM Burhanuddin Harahap yang, ketika berada di puncak kekuasaannya, tak ingin menodai pemilihan umum yang demokratis pada 1955 dan 2004 hanya demi kelanggengan kekuasaan diri atau partainya.
Apabila bacaan penulis atas pikiran politik Megawati benar, bukan mustahil pada saat yang tepat ia memutuskan ”bukan untuk maju kembali”, melainkan ”mengucap permisi” dan memberi jalan bagi Jokowi memimpin negeri ini. Semua ini demi Indonesia Raya.
Ikrar Nusa Bhakti, Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI

Editor: Inggried Dwi Wedhaswary
Sumber: KOMPAS CETAK
  nasional.kompas.com

No comments:

Post a Comment